digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Hingga saat ini, rasio elektrifikasi desa berlistrik PLN di Provinsi Banten masih berada pada angka 99,4%, yang menunjukkan bahwa masih terdapat sejumlah desa terpencil yang belum sepenuhnya memperoleh akses listrik yang andal dan berkelanjutan. Salah satu wilayah tersebut adalah Pulau Tunda, yang hingga kini masih menghadapi permasalahan ketidakstabilan pasokan listrik akibat ketergantungan pada Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) yang hanya beroperasi selama 12 jam per hari. Kondisi ini menyebabkan tingginya biaya operasional serta dampak lingkungan yang signifikan. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kelayakan sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), sistem penyimpanan energi baterai (BESS), dan PLTD guna menyediakan pasokan listrik selama 24 jam penuh secara efisien dan ramah lingkungan. Evaluasi dilakukan dari aspek teknis dan keekonomian sistem menggunakan indikator Levelized Cost of Energy (LCOE), Net Present Cost (NPC), Internal Rate of Return (IRR), dan Payback Period. Hasil simulasi menunjukkan bahwa skenario PLTD eksisting menghasilkan energi 766 MWh/tahun dengan LCOE 0,332 USD/kWh dan emisi tertinggi. Skenario PLTD–PLTS mampu mengurangi konsumsi bahan bakar hingga 36% dengan LCOE 0,269 USD/kWh. Skenario PLTS–BESS menghasilkan 1570 MWh/tahun dengan kontribusi energi terbarukan 100% namun memerlukan kapasitas BESS besar dan excess energy 46% sehingga LCOE sangat tinggi (0,487 USD/kWh). Skenario PLTD–PLTS–BESS menjadi skenario optimal dengan kapasitas PLTD 239 kW, PLTS 550 kWp, dan BESS 1776 kWh menghasilkan 896 MWh/tahun, kontribusi energi terbarukan 86%, LCOE 0,212 USD/kWh, NPC 1,89 juta USD, IRR 18%, Payback 4,9 tahun, dan mampu menurunkan emisi karbon hingga 85% dibandingkan PLTD eksisting. Secara teknis, skenario optimal menjaga tegangan 20 kV dan 0,4 kV serta frekuensi 49–51 Hz sesuai grid code. Kesimpulannya, integrasi PLTS dan BESS pada sistem PLTD di Pulau Tunda terbukti layak secara teknis dan ekonomis, sekaligus signifikan menurunkan emisi. Model ini dapat direplikasi di wilayah terpencil lain untuk mencapai target elektrifikasi 100% dan mendukung transisi energi bersih di Indonesia.