digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Selama dua dekade terakhir, keuangan syariah telah menunjukkan pertumbuhan yang luar biasa. Namun, keuangan sosial Islam, khususnya wakaf (Islamic endowment), belum mampu menyamai pesatnya ekspansi sektor komersial. Kesenjangan ini membuat potensi wakaf dalam mengatasi masalah sosial ekonomi menjadi terbatas. Ini terjadi karena sulitnya mengumpulkan dan memanfaatkan aset wakaf untuk tujuan produktif—yaitu pengelolaan wakaf yang menghasilkan keuntungan demi kebaikan masyarakat. Integrasi Keuangan Sosial dan Komersial Islam (IISCF) menawarkan cara yang menjanjikan untuk memperkuat peran wakaf dalam hal pengentasan kemiskinan, inklusi keuangan, dan pemulihan ekonomi. Namun, ada masalah besar dalam penelitian: belum ada model yang secara khusus membuat kerangka kerja wakaf uang dalam IISCF dengan pendekatan bottom-up (dari bawah ke atas) berbasis pemodelan agen. Disertasi ini mengisi kekosongan penelitian terdahulu dengan memperkenalkan model simulasi IISCF baru untuk perilaku kontribusi wakaf tunai, menggunakan metode Pemodelan Berbasis Agen (ABM). Keunggulan utama ABM adalah efisiensinya dan kemampuannya untuk mendalami perilaku serta interaksi berbagai pihak dalam ekosistem wakaf produktif. Model kami meneliti dampak berbagai pengaturan wakaf uang pada desain IISCF, dengan menggabungkan perilaku dua jenis agen: masyarakat (warga, peminjam, donatur wakaf, dan investor) serta waqfpreneur (nazhir yang memiliki kemampuan wirausaha). Menggunakan pendekatan filosofis pragmatis dan desain mixed-methods, penelitian ini memakai strategi triangulasi konkuren dalam tiga tahap: eksplorasi kualitatif, studi empiris kuantitatif (termasuk analisis hybrid clustering dan Structural Equation Model pada Theory of Planned Behavior), dan pemodelan komputasi kuantitatif. Semuanya menyesuaikan dengan konteks Indonesia. Model Berbasis Agen (ABM) dalam studi kami meneliti 120 skenario untuk memahami bagaimana persentase bagi hasil untuk penerima manfaat (0%, 10%, 30%, 50%), cakupan waqfpreneur, dan jumlah waqfpreneur memengaruhi distribusi kekayaan, tingkat kemiskinan, total aset wakaf, dan jumlah pembiayaan yang terdistribusi. Hasil riset menunjukkan bahwa kehadiran waqfpreneur secara konsisten mengurangi kemiskinan, bahkan dengan insentif finansial yang kecil di dalam sistem. Peningkatan persentase bagi hasil penerima manfaat, jumlah waqfpreneur, dan cakupan waqfpreneur umumnya memperbaiki distribusi kekayaan dan mengurangi kemiskinan (terlihat dari pelebaran area di bawah kurva Lorenz). Namun, dampak optimal pada kesetaraan kekayaan akan tergantung pada konteksnya. Misalnya, bagi hasil 50% memang sangat mengurangi kemiskinan, tetapi kesetaraan kekayaan yang optimal seringkali membutuhkan keseimbangan antara cakupan waqfpreneur yang luas dengan jumlah waqfpreneur yang terbatas. Selain itu, total aset wakaf paling rendah tercatat saat bagi hasil 0%, menunjukkan bahwa bagi hasil yang kecil pun bisa sangat mendorong kontribusi wakaf. Distribusi pembiayaan juga sangat bergantung pada cakupan dan jumlah waqfpreneur, dan paling signifikan terjadi pada bagi hasil yang lebih tinggi (misalnya 50%), yang menegaskan peran penting insentif bagi masyarakat dan waqfpreneur. Studi ini memberikan kontribusi teori yang signifikan pada literatur keuangan Islam dan wakaf dengan mengusulkan model ABM bottom-up untuk kontribusi wakaf uang dalam kerangka IISCF, serta mensimulasikan dampaknya pada aspek sosial ekonomi dan keberlanjutan aset wakaf. Secara praktis, studi ini menawarkan strategi nyata untuk mempercepat investasi wakaf uang, meningkatkan partisipasi umat Islam, dan memanfaatkan infrastruktur perbankan syariah untuk mendorong pertumbuhan waqfpreneur demi mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dan mengatasi ketimpangan. Penelitian di masa depan bisa memperluas metodologi ini ke berbagai konteks negara, mendalami aspek perilaku lain, dan langsung memasukkan skenario kebijakan ke dalam model itu sendiri.