Seni pertunjukan tari Lukah Gilo di Dusun Semabu merupakan produk kebudayaan
yang mengalami pewarisan sekaligus perubahan hingga sekarang. Awalnya bersifat
ritual sakral untuk mengungkapkan rasa syukur kepada roh leluhur pada saat
memanen dan menanam padi, menjadi tari adat dalam upacara siklus kehidupan
manusia dan saat ini menjadi seni yang bersifat profan. Kekhasan dari seni
pertunjukan ini yaitu adanya unsur magis yang meliputinya sehingga lukah menjadi
menggila dan tak terkendali. Penelitian ini bertujuan untuk memahami bentuk
visualisasi Lukah Gilo, selain itu dapat menjelaskan posisinya dalam seni
pertunjukan tradisi di Indonesia, serta mengetahui perubahan yang terjadi dalam
fungsi, estetika dan nilai filosofis dalam masyarakat pendukungnya. Metode yang
digunakan adalah kualitatif dengan pendekatan etnografi Spradley melalui tiga
wujud kebudayaan Koentjaraningrat, yang penafsiran pola budayanya
menggunakan estetika paradoks Jakob Sumardjo serta akulturasi budaya. Hasil
analisis menunjukkan bahwa bentuk visualisasi Lukah Gilo menyerupai manusia
yang terbagi atas tiga struktur kosmologi yaitu dunia atas, tengah dan bawah.
Visualisasinya memiliki nilai estetis yang unik karena bersifat paradoks antara
simbol laki-laki dan perempuan, artinya bahwa Lukah Gilo memiliki nilai yang
sakral dalam pertunjukannya. Meskipun struktur bentuk tidak banyak berubah,
fungsi dan kostum yang digunakan telah mengalami perubahan, hal ini terjadi
dipengaruhi oleh pola budaya yang melingkupinya yaitu pola tiga pada masyarakat
peladang dan pola lima pada masyarakat sawah. Selain itu, penelitian ini juga
menunjukkan bahwa nenek moyang masyarakat Melayu di Dusun Semabu telah
lama memahami sistem kosmologi alam semesta yang bersifat paradoks Tunggal
dan Plural dalam kehidupannya.