Praktik artistik berevolusi secara fundamental seiring perkembangan teknologi
media, dengan virtual reality (VR) menjadi salah satu lompatan paling
transformatif di era seni rupa kontemporer. Sebagai lingkungan kreasi yang imersif,
VR secara radikal mengubah cara seni diproduksi, dialami, dan diketahui.
Meskipun demikian, terdapat kesenjangan pemahaman mengenai bagaimana
perupa dengan basis pengetahuan pada media fisik atau digital non-imersif
mengalami proses transformasi epistemik (sebuah restrukturisasi mendalam pada
cara mengetahui, merasakan, dan mencipta) saat pertama kali berinteraksi dengan
medium baru ini. Penelitian ini menjembatani tiga kesenjangan utama: (1)
kesenjangan empiris mengenai minimnya dokumentasi proses kognitif dan
embodied pada momen transisi perdana perupa ke VR; (2) kesenjangan teoretis, di
mana teori mapan seperti pengalaman artistik John Dewey dan Limas Citra
Manusia Primadi Tabrani memerlukan perluasan untuk menjelaskan fenomena
imaterialitas dan interaktivitas digital; serta (3) kesenjangan praktis-epistemologis
terkait ketiadaan landasan berbasis riset untuk pengembangan pedagogi seni VR di
Indonesia.
Penelitian ini bertujuan untuk membongkar dan memodelkan proses transformasi
pengetahuan artistik yang dialami perupa pada momen inisiasi dengan VR. Dengan
berlandaskan paradigma interpretif-konstruktivis dan pendekatan fenomenologi,
penelitian dirancang sebagai studi kasus mendalam pada tiga perupa profesional
(ilustrator, pematung, dan pelukis) yang belum memiliki pengalaman VR. Data
primer dikumpulkan melalui eksperimen praktik berkarya tiga tahap yang
terstruktur menggunakan aplikasi OpenBrush, yang didukung oleh strategi
triangulasi metodologis mencakup observasi non-interventif, protokol thinking out
loud, dan wawancara reflektif semi-terstruktur.
Hasil penelitian menemukan sebuah pola transformatif yang konsisten dan
dirumuskan sebagai kontribusi teoretis utama: sebuah “Model Epistemologi
Artistik VR”. Model ini memetakan sebuah trajektori pembelajaran yang dialami
perupa melalui empat tahap epistemik sekuensial: (1) Inisiasi Kognitif, ditandai
oleh disorientasi spasial dan upaya rasional untuk memahami logika teknis
medium; (2) Konflik Pengetahuan Embodied, sebuah fase krisis di mana memori
otot dan kebiasaan kerja dari media fisik berbenturan dengan ketiadaan umpan balik
haptik dan materialitas virtual; (3) Sintesis Intuitif-Kreatif, momen terobosan di
mana perupa berhenti mereplikasi pengetahuan lama dan mulai “berpikir melalui
medium” dengan merangkul affordance unik VR; dan (4) Integrasi Epistemik,
tercapainya harmoni praktik di mana perupa secara metakognitif memposisikan VR
dalam ekosistem kreatifnya yang diperluas.
Model ini secara teoretis memberikan perluasan kritis terhadap kerangka yang ada.
Ia merevitalisasi teori pengalaman Dewey dengan memperkenalkan konsep
“resistensi algoritmik” sebagai pengganti resistensi fisik dalam siklus doing
undergoing. Selain itu, model ini juga memperkaya Model Limas Citra Manusia
Tabrani dengan menganalisis “krisis haptik” dan perlunya rekonfigurasi makna
“Fisik”, “Gerak”, dan “Perasaan” dalam konteks digital. Pada puncaknya,
penelitian ini tidak hanya memetakan proses adaptasi, tetapi juga mengusulkan
pergeseran pemahaman filosofis terhadap subjek perupa di era digital, bukan
sebagai posthuman, melainkan sebagai “subjek epistemik yang diperluas”
(expanded epistemic subject), yang kerangka pengetahuan dan kapabilitas
sensorimotornya menyatu dan diperluas melalui medium teknologinya. Implikasi
praktis penelitian ini menawarkan landasan bagi pengembangan pedagogi seni VR
yang sensitif terhadap proses pembelajaran embodied dan transformatif.
Perpustakaan Digital ITB