Wacana dematerialisasi foto melalui digitalisasi secara fundamental mengubah
tidak hanya proses produksi, distribusi, dan estetika fotografi, tetapi juga cara
fotografer memaknai pengalaman fotografi sehari-hari. Terdapat ambiguitas saat
terjadi kebangkitan fotografi analog di tengah-tengah digitalisasi yang meluas.
Fenomena penggunaan teknologi media fotografi analog terletak dalam wacana
retromedia yang dipahami secara umum sebagai fenomena “nostalgia”, ketika
media analog dan digital hidup berdampingan dan saling dinegosiasi ulang. Akan
tetapi pemaknaan “nostalgia” dirasa belum cukup menggambarkan kompleksitas
praktik fotografi analog di era digital yang dicurigai terdapat aspek yang lebih
esensial berkaitan dengan pengalaman.
Penelitian ini mengeksplorasi transformasi ontologis dalam fotografi, dengan fokus
pada interkoneksi antara subjek, teknologi, dan materialitas fotografi. Pendekatan
fenomenologi-hermeneutika diperlukan untuk memahami makna penting yang
dimiliki fotografi analog di era digital. Dari perspektif teknologi, fotografi harus
diperiksa berdasarkan perubahan signifikan dalam wacana teknologi, digitalitas,
jaringan, platform, dan ubiquity foto di mana-mana. Pendekatan ini
memperlakukan fenomena sebagai teks interpretatif, yang dianalisis melalui proses
dialogis dalam lingkaran hermeneutik.
Melalui kerangka fenomenologi-hermeneutik, penelitian mengungkapkan bahwa
kebangkitan fotografi analog bukan sekadar nostalgia, melainkan merupakan
respons terhadap kurangnya autentisitas dan kedalaman dalam fotografi digital.
Temuan utama secara garis besar menunjukkan beberapa aspek penting: (1)
Pemahaman ontologis tentang fotografi analog di era digital memperkenalkan
konsep Ada-fotografi sebagai proses kemunculan gambar foto yang melibatkan
kinerja manusia dan teknologi. (2) Materialitas dan pengalaman taktil dalam
fotografi analog memberikan dimensi berbeda dibandingkan sifat dematerialisasi
fotografi digital. Proses analog menciptakan keterlibatan lebih mendalam antara
fotografer dengan objek dan mediumnya. (3) Penelitian ini mengidentifikasi adanya
ambiguitas dalam konteks autentisitas, otoritas dan indeksikalitas, ketika foto
analog sering mengalami pemindaian menjadi objek digital, menciptakan ironi
domain privat ke publik. Hal ini menambah perdebatan panjang tentang makna
ii
keaslian dalam konteks kontemporer. (4) Praktik artistik secara manual yang
berorientasi proses dalam fotografi analog yang terbatas dan tidak sempurna
mendorong kreativitas dan pengetahuan berbasis pengalaman yang
akan menghasilkan kepuasan subjektif, berbeda dengan kepuasan instan yang
ditawarkan metode digital. (5) Komunitas fotografi analog berperan
penting dalam merevitalisasi industri fotografi analog dengan menekankan
nilai materialitas. Mereka tidak hanya mempertahankan praktik konvensional
tetapi juga mendorong inovasi dan ekosistem berbasis kolaborasi, yang
memperkaya dunia seni kontemporer.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa kebangkitan fotografi analog
merepresentasikan kesadaran untuk mencari kedalaman, keterampilan, dan
pengalaman estetik yang lebih kaya dalam fotografi. Ketika batas antara digital dan
analog semakin kabur, studi ini memberikan uraian kebermanfaatan keahlian dan
keterampilan yang melekat dalam fotografi analog, mendorong seniman dan
komunitas yang lebih luas untuk mengeksplorasi lebih jauh bentuk ekspresi unik di
era kemajuan teknologi yang pesat.