Universal Health program merupakan rencana dimana semua orang memiliki akses ke layanan kesehatan
yang mereka butuhkan, kapan dan di mana pun mereka membutuhkannya tanpa kesulitan masalah
keuangan. Sebelum keluarnya resolusi tersebut, pemerintah Indonesia telah lebih dahulu mengeluarkan
Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional untuk memberikan perlindungan sosial yang lengkap dan
terintegrasi bagi masyarakat pada tahun 2004 yang dibuat oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
melalui Undang-Undang. Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Dengan
Undang-Undang ini terbentuk 2 (dua) BPJS yaitu BPJS Kesehatan & BPJS Ketenagakerjaan.
Kehadiran BPJS membuat jumlah pasien rumah sakit meningkat tajam. Pasalnya, pasien yang telah
membayar iuran BPJS setiap bulan merasa berhak mendapatkan pelayanan kesehatan mulai dari penyakit
ringan hingga penyakit berat. Meningkatnya jumlah peserta BPJS setiap tahunnya membuat sebuah
masalah dimana meningkatnya kebutuhan obat yang masuk dalam kategori Formularium Nasional.
Masalah-ini sangat memiliki risiko ketakutan manajemen pada kondisi persediaan obat-obatan. Kondisi
stockout dimana persediaan obat di gudang dalam keadaan kosong dan tidak dapat memenuhi kebutuhan
pasien yang terus meningkat & kondisi kekurangan dimana persediaan obat di gudang dibawah standar
kebutuhan rumah sakit.
Perencanaan Barang Kesehatan di Apotek RSKD Dadi telah menggunakan metode konsumsi penggunaan
obat farmasi rawat inap dan rawat jalan yang termasuk dalam Formularium Nasional dan Rumah Sakit,
kemudian diteruskan ke proses pengadaan untuk ditinjau setiap minggu. Cara ini kurang akurat karena tidak
bisa menyediakan data permintaan, perputaran stok dan safety stock. Penggunaan metode konsumsi di
RSKD Dadi hanya berdasarkan penggunaan obat yang digunakan oleh pasien, sehingga pada saat gudang
apotek menipis maka akan dilakukan pengadaan. Hal ini juga didukung oleh fakta bahwa total rasio
perputaran persediaan obat paten dan obat generik pada tahun 2019 sebesar 9,23 kali, masih di bawah
standar ideal yaitu 10-23 kali lipat. Masalah ini dipengaruhi oleh kondisi yang tidak diinginkan seperti
kelebihan pembelian barang, peraturan atau campur tangan pemerintah, dan barang dari produsen obat
sudah habis. Dari pencarian faktor penyebab ditemukan beberapa penyebab utama yaitu safety stock tidak
akurat, jumlah pesanan tidak menentu & tidak adanya evaluasi permintaan.
Dalam sistem pengendalian inventori yang diusulkan terdapat dua sistem gabungan yang sesuai yaitu
klasifikasikan kelas item obat dengan klasifikasi ABC-VEN & sistem review berkelanjutan untuk obat
dengan kategori I. Berdasarkan hasil analisis dapat disimpulkan manajemen rumah sakit secara khusus
dapat membuat potensi penghematan tingkat persediaan sebesar Rp109.131.623- & nilai rasio Inventory
Turnover meningkat dari 10,30 menjadi 20,5 pada item dengan kondisi overstock untuk Kategori I. Dari
sisi tingkat layanan, rumah sakit dapat meningkatkan perkiraan tingkat service level aktual 93,17% menjadi
99,00%. Dari simulasi yang diterapkan berdasarkan data kebutuhan harian pada kuartal pertama didapatkan
potensi penghematan persediaan sebesar -27.22% dengan tingkat layanan 99.91%. Penelitian ini
membuktikan selama rumah sakit dapat menjalankan & melaksanakan kebijakan dalam waktu yang lama
maka rasio Inventory Turnover akan meningkat, selama persediaan stok dapat digunakan secara minimal
dan efisien.
Perpustakaan Digital ITB