digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Indonesia adalah negara dengan populasi besar, pada tahun 2018 Indonesia memiliki populasi 256 juta. Hingga Februari 2018, jumlah pekerja mencapai 133,94 juta orang, jumlah ini naik 2,39 juta dibandingkan Februari 2017. Dari 127,07 juta orang yang dipekerjakan, 7,64 persen berada dalam kategori setengah menganggur dan 23,83 persen pekerja paruh waktu. Pada tahun lalu, setengah pengangguran dan pekerja paruh waktu naik masing-masing 0,02 persen dan 1,31 persen. Menurut Kepala BPS Jawa Barat Gandari Adianti, Jawa Barat saat ini adalah tingkat pertama untuk provinsi dengan tingkat pengangguran tertinggi sebesar 7,73%, ini berarti bahwa dari setiap 100 orang yang masuk dunia kerja, 7-8 orang tidak dapatkan pekerjaan. Semangat kewirausahaan perlu tumbuh di kalangan generasi muda dan juga masyarakat untuk menciptakan lapangan kerja baru. Menjadi wirausaha seseorang harus memiliki kemampuan untuk melihat dan menilai peluang bisnis, mengumpulkan sumber daya yang tepat. Seorang wirausaha juga dituntut memiliki semangat kepemimpinan di mana seorang wirausahawan harus mampu memimpin secara adil dan baik serta bertanggung jawab. Dengan semangat kewirausahaan ini, orang dapat membaca peluang di sekitar mereka. Salah satunya adalah peluang untuk menjadi wirausaha sosial. Berdasarkan literatur ada perbedaan pemahaman tentang apakah bisnis termasuk dalam kategori wirausaha sosial atau tidak. Variabel dalam penelitian ini adalah modal manusia, modal sosial kognitif sosial, lingkungan kelembagaan, lingkungan sosial dan dampak sosial. Data dikumpulkan dari wawancara mendalam di masing-masing dari empat kasus. Data dikumpulkan dari pemiliknya sendiri, sehingga informasi yang diperoleh adalah informasi yang sesuai dengan tujuan perusahaan. Pemilik memiliki informasi lengkap tentang strategi dan proses bisnis perusahaan. Data yang diperoleh kemudian dianalisis menggunakan metode analisis cross case. Penelitian ini mengungkapkan bahwa tujuan akhir dari kewirausahaan sosial adalah "Pemecahan Masalah Sosial", "Berbagai inisiatif dan kegiatan", dan "agen perubahan". Mereka merujuk pada nilai sosial (Dees, 1998; Mair & Marti, 2006; Lepoutre, Justo, Terjesen, & Bosma, 2013). Perbedaan utama antara kewirausahaan sosial dengan kewirausahaan biasa bukanlah bahwa kewirausahaan biasa seperti itu akan bersifat sosial, melainkan bahwa wirausahawan sosial mengaitkan prioritas utama untuk penciptaan nilai sosial (Lepoutre, et al., 2013), sedangkan nilai ekonomi penciptaan dipandang sebagai kondisi yang diperlukan untuk memastikan kelayakan finansial '' (Mair dan Marti, 2006 hal. 38).