Pada zaman ketika modernisasi belum terjadi, ilmu astronomi sudah diketahui dan
diterapkan oleh masyarakat, namun masih sederhana. Salah satunya menggunakan
berbagai objek langit dalam penentuan waktu bercocok tanam, seperti yang
diterapkan oleh masyarakat di Kampung Ciptagelar yang berlokasi di Kabupaten
Sukabumi, Jawa Barat. Masyarakat Kampung Ciptagelar menggunakan rasi
bintang Orion (Kidang) dan asterism (Kumpulan bintang yang membentuk suatu
pola) Pleiades (Kerti) dalam aktivitas bertani. Hal ini tekait dengan Kalender Jawa
berbasis pergerakan Matahari, Pranata Mangsa. Selain itu fase Bulan Purnama
pun dianggap sakral sehingga diadakan ritual bernama Mapag Purnama.
Dari dua hal di atas, penulis akan mempelajari lebih lanjut aturan yang digunakan
oleh masyarakat terkait rasi bintang dan Bulan purnama secara etnoastronomi.
Metode yang digunakan adalah melakukan wawancara dengan masyarakat,
pemangku jabatan hubungan masyarakat dan ketua adat di Kampung Ciptagelar
serta studi literatur. Dari penelitian ini didapatkan hasil bahwa masyarakat
memanfaatkan waktu kemunculan Kidang untuk menanam padi yang jatuh pada
minggu pertama bulan Oktober dan waktu tenggelamnya Kidang untuk memanen
padi yang jatuh pada pertengahan bulan Januari. Sedangkan waktu kemunculan
Kerti dimanfaatkan sebagai waktu untuk mempersiapkan perkakas bertani.
Terkait Bulan purnama, ritual Mapag Purnama dilaksanakan setiap tanggal 13
malam ke-14 dalam Kalender Jawa Rembulan. Untuk mengecek tanggal tersebut
secara ilmu astronomi, digunakan 3 referensi dalam pemilihan tanggal terjadinya
fase Bulan purnama, yaitu Fred Espenak, NASA dan aplikasi Stellarium.
Kemudian dilakukan konversi tanggal dari Kalender Masehi ke Jawa dan
Hijriyah. Dikarenakan Kalender Jawa mengadopsi Kalender Hijriyah, keduanya
akan memiliki tanggal yang sama. Namun terdapat perbedaan siklus dan jumlah
tahun kabisat, maka diperlukan koreksi 120 tahun untuk menyinkronkan kembali
keduanya.