digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

1998_TS_PP_MINARSIH.pdf
PUBLIC Irwan Sofiyan

ABSTRAK: Songket dan ukiran merupakan dua produk terkemuka yang direkayasa secara tradisional (turun temurun) oleh seniman pekria Sumatera Barat. Tidak ditemukan bukti tertulis tentang awal dimulainya kegiatan menyongket. Yang pasti, bahwa proses menyongket identik dengan bertenun. Dimulainya kegiatan bertenun hampir bersamaan dengan awal keberadaan manusia, telah ada semenjak manusia mengenal peradaban menutup bagian tubuh. Artinya, kegiatan ini bertujuan awal lebih kepada fungsi terpakai; yaitu melindungi tubuhnya dan fungsi keindahan berada pada posisi sampingan. Berbagai pengaruh luar yang masuk ke wilayah Sumatera Barat (tetutama dilihat pada tenunan, serta ditambah dengan budaya tradisi setempat telah berakulturasi membentuk budaya tradisional yang dikenal dengan istilah songket (menyongket). Latar-terbentuknya jenis budaya tradisional ukiran kayu (pada dinding rumah gadang) tidak jauh berbeda dengan proses menyongket yang telah dibicarakan di atas. Kalau pada tenunan awal pembuatannya untuk maksud melindungi tubuh dan kemudian beralih fungsi sebagai media yang bernilai estetis, pada ukiran fungsi estetisnya adalah menghiasi rumah. Maksud dibuatnya sebuah hiasan tidak saja sekedar memperindah penampilan benda yang dihias. Namun, hiasan pun rnampu dijadikan sebagai media komunikasi; yang rnenyampaikan pesan-pesan tertentu kepada pengamat atau masyarakat di sekitamya. Melalui motif hias yang ada pada songket dan ukiran kayu suatu rumah gadang dapat diketahui status keluarga pemilik/pemakai kedua jenis barang tersebut; bahwa pada dasarnya songket dan ukiran hanya dimiliki oleh pihak-pihak tertentu saja dan bukan untuk semarangan pakai. Jadi, fungsi dari kedua jenis produk ini bersifat sakral. Namun, akhir-akhir ini peranan benda yang disebutkan di at-as telah bergeser kepada fungsi yang bersifat profan, yang bisa dimiliki oleh segala lapisan masyarakat dimana ia mampu untuk memperolehnya. Perkembangan fungsi ini dapat dilihat dari rnunculnya berbagai bentuk songket dan ukiran di Minangkabau selain dari pada struktur songket pada pakaian manusia dan struktur ukiran pada eksterior/interior rumah gadang. Daerah-daerah pada awalnya dikenal sebagai pusat kerajinan songket dan ukiran adalah Pitalah, Pandai Sikek dan Sungayang untuk wilayah luhak (kabupaten) Tanah Datar; Koto Gadang untuk luhak Agam; Koto nan Ampek dan Kubang untuk wilayah luhak 50 Koto. Daerah yang sampai saat ini dinyatakan produktif dalam kegiatan menyongket serta sekaligus dijadikan sebagai daerah pemangku budaya tradisional ini adalah Pandai Sikek, Silungkang dan Kubang. Ketiga daerah di atas merupakan wilayah obyek disamping daerah lain sebagai pembanding perolehan data penelitian. Beberapa hasil penelitian telah memberikan gambaran mengenai motif-motif yang ada dalam desain songket dan ukiran di suatu daerah. Gambaran yang dimaksudkan menunjukkan terdapatnya kesamaan dalam beberapa nama motif hias. Penelitian ini merupakan permasalahan yang memerlukan kajian-lanjut dengan rumusan permasalahan tentang adanya hubungan antara motif hias songket dan ukiran, dan adanya faktor yang menyebabkan terjadinya hubungan maupun perbedaan. Sejarah keberadaan manusia dengan peradaban akan hal kebutuhan untuk melindungi diri dari serangan/gangguan alam dan lingkunan menjadi titik tolak teori yang melahirkan hipotesa; bahwa sebahagian motif hias songket telah mempengaruhi ukiran. Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif-kuantitatif yang mendeskripsikan (menggambarkan) kenyataan yang ada dengan tujuan untuk mengetahui seberapa jauh perkembangan hubungan antara motif hias songket dan motif hiss ukiran rumah gadang di Surnatera Barat. Permasalahan dibatasi path perbedaan dan kesamaan poin penamaan, struktur motif menurut penempatan dan perulangan posisi dan pola motif. Untuk melihat perkembangan dan pembuktian hipotesa, diperlukan bandingan antara motif hias produk lama dan baru di setiap jorong dan daerah penelitian. Perkernbangan budaya Minangkabau tidak terlepas dari sejarah masuknya pengaruh¬pengaruh budaya luar yang telah ikut mempengaruhi adat dan seni kreasi para seniman pekria Minangkabau. Penyebaran, kedatangan dan kolonialisme bangsa lain memperlihatkan masing-masing pengaruhnya melalui wujud ornamentik seperti jenis tumbuhan, hewan, manusia dan geometris. Masuknya pengaruh Islam di alam ini adalah sangat dominan, dan banyak sekali dijumpai pada motif bias tekstil; dengan bentuk motif yang bersifat geometris atau dominasi bentuk tanaman. Manusia dan binatang sebagai sumber obyek motif diolah menjadi sandi-sandi yang abstrak. Dua kemungkinan fungsi motif hias songket dan ukiran adalah menghias/mempercantik menjadi indah dan memberikan/mengkomunikasikan makna atau simbol (social expression). Asas perancangan atau pembuatan songket dan rumah gadang, terutama untuk motif hiasnya didasari oleh perpaduan estetika Islam dan Minangkabau yang ditunjang oleh beberapa unsur seperti ajaran dan pandangan hidup "alam takambang jadi guru", pola pikir yang dirumuskan dalam "tigo tungku sajarangan", prinsip adat "adat basandi syara, syarak basandi Kitabulldb". Seniman pekria mengambil alam sebagai sumber gagasan; diwujudkan dalam bentuk sandi visual sebagai pengejawantahan dari representasi obyek, representasi abstrak dan simbol nonrepresentasi abstrak. Pengejawantahan bentuk didasari oleh adat dan agama. Hal ini terlihat dari usaha menghindari meniru bentuk beryawa ciptaan Tuhan; yang bertentangan dengan ajaran Islam.dan perbedaan adat di setiap daerah; yang memperlihatkan perbedaan karakter produk ukiran maupun songket. Pola pikir tigo tungku sajarangan disalurkan melalui prinsip pengaturan alua dan patuik (penempatan dan penonjolan), raso jo pareso (keserasian dan keseimbangan) dan barib balabeb (kesatuan ide, garis dan bentuk). Pola pikir seperti ini terlihat jelas dalam proses mengukir dan menyongket. Pengaturan pola motif ukiran kayu disesuaikan dengan struktur dan ukuran bangunan (susunan kayu), sedangkan pengaturan pada songket adalah berdasarkan struktur benang dan ukuran bidang dasar (jumlah benang lungsi dan pakan). Dengan terlebih dahulu mengetahui ukuran panjang, lebar clan posisi susunan bahan; maka diaturlah pengulangan pola mptifnya. Pengulangan pola terjadi karena pola pikir maternatis yang terjadi akibat adanya ukuran bidang obyek. Struktur bangunan identik dengan struktur pakaian, tampak pula pada struktur motif hias yang berposisi horizontal-vertikal dan diagonal. Berdasarkan paparan motif bias songet dan ukiran diketahui bahwa 21nama motif songket tipe lama bersumber dari alam tanaman, hewan, dan makanan tradisi dengan pola- pola geometris seperti garis lurus-patah-lengkung, segi tiga, kubus/empat persegi panjang, belah ketupat, dan lingkaran. Sementara itu pada ukiran tipe lama terdapat 25 nama motif. Selain daripada sumber di atas terdapat sumber lain seperti air, kegiatan tradisi, benda keperluan harian, Sebanyak 42-65% motif hias di Pandai Sikek diketahui memiliki nama yang sama. Tidak ditemukan peningkatan sumber penamaan motif antara ukiran tipe lama dan baru, namun dalam hal kuantitas jumlah nama; telah terjadi pertumbuhan, jumlahnya mejadi 29 buah. Perkembangan dalam kuantitas sumber dan penamaan motif pada songket dinyatakan sangat dominan. Hal ini dibuktikan dari kemunculan sumber baru seperti unsur rumah gadang dan perlengkapan perkawinan selain sumber lama di dalam 40 nama motifnya. Sebagian kecil nama motif hias ukir lama muncul pada pada desain songket bar'. Hal yang sama pun dijumpai pada desain songket di Kubang (33%) dan Silungkang (25%). Selain dari faktor penamaan dan sumbernya, hubungan antara kedua motif produk terlihat dari kesamaan struktur, posisi dan perulangan, demikian juga dengan susunan warna. Motif hias songket distruktur pada bagian kepala-badan dan kaki (pinggir) kain dalam pengulangan pola secara vertikal dan horizontal. Sementara itu dalam desain ukiran ditemukan struktur tambahan dalam posisi diagonal yang diletakkan di bagian kepala rumah gadang. Diantara setiap urutan motif terdapat motif pembatas yang pada prinsipnya berukuran kecil. Tempat dilakukannya kegiatan menyongket (yaitu di kolong rumah gadang) telah menciptakan suasana terjadinya kominikasi antara seniman pekria songket dengan motif bias ukiran. Agaknya, faktor ini merupakan latar-sebab paling dekat yang tidak membuktikan sepenuhnya hipotesa tentang pengaruh songket terhadap motif bias ukiran (walaupun satu¬dua telah ditemukan nama motif hias songket lama di dalam desain ukiran). Sebaliknya ukiran lebih banyak mendominasi dan mempengaruhi motif hias songket Saling-pengaruh motif hias ini dapat pula dijadikan sebagai permasalahan baru yang memerlupakn penelitian lebih lanjut. Yang lebih dikenal sebagai warna pokok Minang adalah sirah (merah tua/coklat), kuniang (kuning kunyit) dan hitam yang banyak memberikan makna. Disamping ketiga wama tersebut muncul wama hijau tua Dominasi warna pada ukiran dan songket lama adalah rirah (merah tua), kemudian didampingi oleh warna-warna kuniang kunyik (kuning chrom) dan hijau tuo (hijau tua) serta hitam. Dari analisis kedua jenis produk tersebut di atas dapat dicatat beberapa hal, bahwa; ukiran dan songket adalah dua tipe produk kria khas Sumatera Barat dengan karakter yang sangat tua), kemudian didampingi oleh warna-warna kuniang kunjik (kuning chrom) dan hijau tuo (hijau tua) serta hitam. Dari analisis kedua jenis produk tersebut di atas dapat dicatat beberapa hal, bahwa; ukiran dan songket adalah dua tipe produk kria khas Sumatera Barat dengan karakter yang sangat berbeda yang dilihat dari segi bahan dan teknik. Meskipun di dalam desain kedua jenis produk ditemukan beberapa penamaan dan sumber yang sama, ditinjau dari segi bentuk motif masih terdapat perbedaan; terutama dalam faktor detail struktur pola disamping faktor teknik penggarapan dan bahan. Akhir-akhir ini penampilan ukiran dan songket berbeda dari tipe lama, lebih ditentukan oleh selera pemesan; sehingga maknanya mulai memudar. Perbedaan bentuk motif antara motif bias lama dan baru disebabkan orientasi pembuatan mengejar pasar yang deras permintaannya. Disamping itu ia dipengaruhi pula oleh seniman kreativitas seniman pekrianya. Loin padang, lain belalang; Lain lubuak, lain ikannyo. Pepatah ini memiliki makna bahwa lain nagari lain adatnya, sehinga lain perwujudan konsep isi (makna) dan rupa pada setiap daerah. Songket yang dibuat oleh seniman pekria di Pandai Sikek mempunyai karakter desain padat yang dikenal dengan sebutan kain balapak, walaupun kadang-kadang masih ditemukan jenis songket batabua (bermotif tabur). Jenis songket dan kain balapak tersebut dibuat terbatas dengan teknik tuek 2, 4, 6, atau gabungan ketiga tuek tersebut:. Jalinan benang pakan tambahan (makau) dalam hal ini adalah benang tunggal. Keterbatasan teknik ini sangat berpengaruh kepada penampilan motif hiasnya yang bergaris lebih tegas dan tajam, namun kaya dengan berbagai motif. Dilain sisi, songket yang diproduksi di Kubang dan Silungkang bercorak motif tabur yang menggunakan benang ganda; artinya pakan tambahan dilakukan dengan menjalin benang makau ganda 2. Kebebasan dalam memilih teknik (tuek) memberikan peluang bagi seniman pekria daerah ini untuk berleluasa dalam meniru bentuk-bentuk alam. Hal ini dapat dilihat dari keberadaan motif seperti burung merak, tantadu manyasok bungo dan sebagainya yang biasanya dijumpai dan bisa dicapai dengan teknik ukiran. Perbedaan dalam aturan penataan motif sangat terasa pada desain songket di daerah Koto Gadang, Koto nan Ampek (Balai Cacang) dan Sungayang. Ketiga daerah ini terkenal dengan kekenta!an aturan pembuatan songket sekalipun dinyatakan tidal( pruduktif. Barangkali dilema ini bisa diangkat untuk menjadi permasalahan penelitian lanjutan. Sekalipun ukiran Minangkabau memiliki penampang dan motif yang sama; yakni segi tiga (karena dibatasi oleh penggunaan pahat layang dan kuku bermata datar serta bermata kuku) dan dominasi bentuk tanaman seperti daun-bunga-batang-buah, namun pada perbedaan karakter ukiran di setiap daerah dapat pula dirangkum berdasarkan bentuk motifnya. Ukiran Pandai Sikek bercirikan bentuk dedaunan yang bulat dan pendek, biasanya diberi pahatan kuku dibagian tengahnya. Pengaturan motif sangat sederhana. Pengaruh ukiran daerah ini sampai ke ukiran Silungkang. Dewasa ini muncul ukiran-ukiran yang ditata dengan menggunakan tempelan pecahan kaca, menjadikan penampilan ukiran berkesan lebih semarak. Berbeda dengan peninggalan ukiran di Payakumbuh yang dibuat oleh seniman pekria kabupaten Agam; bentuk dedaunannya adalam runcing dan panjang disamping bercabang banyak. Perpaduan bagian tanaman ini ditata dengan sangat rumit dan dinamis, sehingga sulit untuk menentukan polanya. Dalam hal ini seniman lebih berani dan kreatif dalam pencaharian bentuk. Di sepanjang batang tanaman diberi imbuhan garis mengikuti alur batang tersebut; dikenal dengan istilah ragi aia (ragi air). Nampaknya, kria ukir berasal (sumber) dari nagari yang berada disekeliling gunung Merapi (sebagai tempat asal kehidupan nenek moyang masyarakat Minangkabau; yaitu Ampat Angkat Canduang, Pandai Sikek dan Pariangan. Sekalipun masyarakat Minang beragama Islam, namun masih dijumpai segelintir orang yang masih mengikuti tradisi kepercayaan primitif dimana mereka percaya dengan kekuatan makhluk halus. Sebetulnya mereka sudah lama meninggalkan kepercayaan ini, tetapi tradisi persyaratan belajar keterampilan di daerah pusat kerajinan songket dan ukiran membuat sebagian kecil mereka terpaksa mengikutinya; padahal sang guru tidak menuntut mengharuskan dipenyhinya persyaratan yang dimaksudkan. Kedinarnisan motif ukiran, keanekaragainan ungkapan motif pada songket, pemilihan warna¬warna keras memberikan pertanda bahwa rnasyarakat Minangkabau berkarakter berani, menyukai kesemarakan dan kegemerlapan. Kecenderungan seperti ini dilatar-belakangi oleh dilema antara dua hal yang bertentangan (dichotomi) yang dialamai masyarakat Mimangkabau; seperti pertentangan adat dengan agama (terutama sekali dalam hal system kekerabatan/kekeluargaan yang matrilinela), pertentangan dalam menjalankan adat menurut sistem kelarasan Bodi-Caniago dan Koto-Piliang dan kekerasan kekuasaan dimasa kolonial. Rasa ketidak-senangan tersebut dapat justru diungkapkan dan terbaca dalam desain karya ukir dan songket. Motif pada ukiran dan songket bukan sekedar hiasan, padanya terkandung makna yang dalam sebagai cerminan budaya sosial Minangkabau. Pen dekatan komparatif an tara motif hias songket dan ukiran dimaksudkan untuk membuka atau menyajikan sistem analisis terhadap karya songket maupun ukir Minangkabau, untuk mengapresiasi kesamaan maupun perbedaannya; karena kedua bentuk seni kria tersebut pada masa kini sedang dalam proses erosi budaya yang tersangkut dengan keterampilan i}kir maupun tenun. Erosi keterampilan teknik tenun yang terjadi pada pola songket disebabkan oleh permintaan pasar yang meningkat dan cepatnya pelayanan, sehingga pekria tenun bekerja mengajar permintaan. Etos kerja yang berorientasi kepada permintaan pasar hendaknya tidak kesempatan ini. menurunkan mutu produk secara tajam, karena dengan keadaan kemerosotan mutu tersebut berarti memudarnya budaya tradisional. Oleh karena itu sudah sepatutnya semua pihak yang terkait langsung clan berwenang dalam usaha peningkatan mutu produk bersama-sama memikirkan penanggulangannya. Salah satu usaha yang bisa dilakukan adalah dengan tanpa pernah lupa serta senantiasa sadar akan prinsip pelestarian budaya tradisional. Kekhasan corak dan karakteristik songket dan ukiran di masing-masing daerah tetap dipertahankan, artinya pihak yang terkait dalam kaitan ini tidak terlalu gegabah dalam menerima pengaruh luar yang nantinya akan memperkabur pemahaman konsep tentang seni tradisional daerah Minangkabau secara umum dan daerah secara khusus. Disamping itu, peningkatan kualitas kedua jenis produk dapat dilakukan dengan jalan mengadakan pengembangan dalam bentuk dan fungsi kearah profan. Disamping itu hasil penelitian ini merupakan sumbangan tentang inventarisasi perbedaan clan kesamaan motif hias di daerah sumber kerajinan songket dan ukir yang masih produktif. Besar dugaan bahwa hubungan motif hias kedua jenis produk ini terjadi pula di daerah lain di Sumatera Barat, terutama pada desain tekstil lannya seperti sulaman. Diharapkan pula di masa mendatang praduga ini memerlukan pen elitian iebih lanjut. Kegiatan menyongket yang dinyatakan terhenti adalah di daerah Sungayang, Balai Cacang dan Koto Gadang. Di sisi lain peningkatan produksi songket terjadi di daerah Pandai Sikek, Kubang dan Silungkang. Fenomena ini merupakan dua hal yang perlu dipertanyakan clan diteliti lebih jauh. Hal semacam ini pun permasalahan yang memerlukan jawaban. Faktor apakah yang telah menyebabkan terjadinya kondisi tersebut, apakah tidak lebih baik bila kegiatan menyongket di daerah yang terhenti kembali diaktifkan, serta solusi apa yang dapat dilakukan dalam mengantisipasinya.