digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Sistemik lupus eritematosus (SLE) merupakan penyakit autoimun multisistem kronis yang lebih dominan pada wanita usia produktif dan mayoritas melibatkan organ ginjal. Sekitar 95% pasien SLE mengalami komplikasi lupus nefritis (LN) dengan risiko gagal ginjal dan menjadi faktor risiko utama untuk morbiditas dan mortalitas. Terapi siklofosfamid (CYC) merupakan pilihan utama untuk LN parah, namun respons terhadap CYC bervariasi dan bergantung antara lain pada faktor genetik dan ras pasien. Dengan demikian, dibutuhkan strategi untuk meningkatkan manajemen terapi penyakit LN melalui implementasi farmakogenetik untuk pengobatan yang lebih presisi. Siklofosfamid merupakan prodrug yang membutuhkan sitokrom P450 (CYP450) untuk aktivasi dan glutathione Stransferase (GST) untuk deaktivasi. Studi farmakogenetik CYC mengungkapkan peran polimorfisme CYP2B6 dan CYP2C19 dengan hasil yang berbeda di Jepang dan Amerika sedangkan polimorfisme GSTA1 memberikan pengaruh yang berbeda berdasarkan posisi varian promotor di Mesir dan China, akan tetapi pengaruh diplotip GSTA1, CYP2C19, dan CYP2B6 belum pernah dilaporkan. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan menganalisis pengaruh polimorfisme GSTA1, CYP2C19, dan CYP2B6 secara tunggal dan kombinasi terhadap efektivitas dan efek samping CYC pada pasien LN di Jawa Barat untuk memberikan rekomendasi pengobatan yang lebih presisi dari hasil analisis tersebut. Penelitian ini diawali dengan penelusuran varian genetik yang berpengaruh terhadap metabolisme CYC, yang kemudian digunakan untuk biomarker polimorfisme. Analisis pengaruh polimorfisme dilakukan setelah metode penentuan genotip yang optimal dengan menggunakan PCR-Sanger sekuensing diperoleh. Seratus pasien LN dewasa yang telah mendapatkan enam dosis intravena CYC dengan protokol National Institute of Health (NIH) atau European Alliance of Associations for Rheumatology (EULAR) memenuhi kriteria inklusi penelitian. Efektivitas dan efek samping CYC dievaluasi berdasarkan data hasil laboratorium dan data rekam medis pasien tahun 2012-2023 sesuai desain studi kasus-kontrol retrospektif. Untuk analisis pengaruh polimorfisme gen, 10 single nucleotide polymorphism (SNP) dari GSTA1, CYP2C19 dan CYP2B6 berhasil dideteksi. Lima kombinasi SNP dari masing-masing gen meliputi GSTA1 (-52, -69), GSTA1 (-52, - 69, -513), GSTA1 (-52, -69, -567), CYP2C19 (c.681 dan c.819+228), dan CYP2B6 (-2320, -1778, -750). Pengaruh polimorfisme gen terhadap efektivitas dan efek samping CYC dianalisis secara statistik menggunakan multiple binary logistic regression berdasarkan nilai odd ratio (OR) dengan akurasi berdasarkan persentase sensitivitas dan spesifisitas dari receiver operating characteristic (ROC). Efektivitas CYC ditentukan berdasarkan fungsi ginjal dan perbaikan aktivitas penyakit yang dinilai berdasarkan Modified-Systemic Lupus Erythematosus Disease Activity Index 2000 (M-SLEDAI2K). Perbaikan penyakit dan fungsi ginjal ditunjukkan setelah terapi CYC. Terjadi peningkatan klirens kreatinin (98,50 vs. 109,50 mL/menit), penurunan proteinuria (3,00 vs. 1,50), kreatinin serum (0,79 vs. 0,69 mg/dL), dan skor M-SLEDAI-2K (8,61 vs. 6,95) secara signifikan (p<0,05). Berdasarkan pengkategorian remisi ditemukan 30% remisi sempurna (CR), 49% remisi sebagian (PR) dan 21% nonremisi (NR) sedangkan berdasarkan aktivitas penyakit, 40% tergolong aktivitas penyakit rendah dan 60% aktivitas penyakit tinggi. Pasien LN tanpa hipertensi, usia 18-20 tahun yang menggunakan protokol NIH mengalami remisi dan perbaikan aktivitas penyakit. Kovariat hipertensi, jenis protokol, dan usia mempengaruhi efektivitas CYC secara signifikan (p<0,05). Efek samping CYC dianalisis berdasarkan hasil laboratorium setelah terapi CYC dan data rekam medis pasien. Efek samping CYC yang terjadi meliputi alopesia (64%), amenorea (53,84%), gangguan pencernaan (18%) dan leukopenia (13%). Hasil analisis polimorfisme masing-masing gen menunjukkan adanya polimorfisme GSTA1 (-52 AG), (-513 AG), dan (-567 GT+GG), serta CYP2B6 (-750 TC+CC) dan (-1778 AA+AG), yang berdampak secara signifikan pada perburukan penyakit (OR<1). Polimorfisme CYP2C19 (c.681 GA+AA), (c.819+228 AG+AA), dan CYP2B6 (-750 TC+CC) secara signifikan menurunkan tercapainya remisi (PR+CR) (OR<1). Polimorfisme GSTA1 (-567 GT+GG) dan CYP2B6 (-750 TC+CC) secara signifikan menghambat tercapainya remisi sempurna (CR) (OR<1). Berdasarkan pengaruh polimorfisme tersebut, apabila pasien memiliki genotip polimorfisme GSTA1, CYP2C19, dan CYP2B6, yang menurunkan efektivitas CYC, maka disarankan penggunaan imunosupresan lain yaitu mikofenolat mofetil (MMF)/ siklosporin/ takrolimus (CNI). Apabila pasien LN memiliki genotip GSTA1 (-52 AA), (-513 AA), (-567 TT), CYP2C19 (c.681 GG), (c.819+228 AA), CYP2B6 (- 1778 GG), dan (-750 TT), disarankan menggunakan CYC sesuai lini pertama terapi. Polimorfisme CYP2C19 (c.681 GA+AA) dan (c.819+228 AG+AA) secara signifikan menurunkan risiko alopesia (OR<1). Polimorfisme CYP2B6 (-2320 TC+CC) secara signifikan meningkatkan risiko gangguan saluran cerna (OR>1), sedangkan polimorfisme CYP2C19 (c.681 GA+AA) dan (c.819+228 AG+AA) secara signifikan menurunkan risiko tersebut (OR<1). Kombinasi SNP masingmasing gen tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap efektivitas dan efek samping CYC. Kombinasi SNP memberikan efek bervariasi dibanding SNP tunggal karena jumlah varian yang lebih banyak. Polimorfisme GSTA1, CYP2C19 dan CYP2B6 secara signifikan mempengaruhi efektivitas dan efek samping CYC pada pasien LN. Efektivitas dan efek samping CYC dapat diprediksi sesuai implementasi pengobatan presisi. Pemeriksaan polimorfisme GSTA1, CYP2C19, dan CYP2B6 direkomendasikan sebelum terapi CYC diberikan kepada pasien LN.