digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Salah satu penyakit terkait sistem imun yaitu penyakit autoimun terus meningkat populasinya di Indonesia. Terapi farmakologi untuk penyakit autoimun yang telah digunakan hingga saat ini memiliki beberapa kekurangan seperti efek samping yang cukup parah dan harga yang tidak terjangkau oleh banyak penderita. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk mengatasi kondisi tersebut adalah terapi dengan imunomodulator. Berbagai sumber senyawa imunomodulator dapat diperoleh dari alam, salah satunya dari tumbuhan. Indonesia adalah negara yang kaya akan tumbuhan obat, maka penelitian ini bertujuan menggali potensi tumbuhan Indonesia untuk memperoleh suatu imunomodulator yang terbukti khasiatnya secara eksperimental. Pada penelitian ini, tiga tumbuhan yaitu sereh dapur (Cymbopogon citratus), jamblang (Syzygium cumini), dan nilam (Pogostemon cablin) dipilih untuk dikaji efek imunomodulatornya. Penelitian diawali dengan karakterisasi tumbuhan uji sesuai dengan metode WHO, diikuti dengan ekstraksi kandungan senyawa aktif secara refluks dengan etanol 96%. Selanjutnya dilakukan karakterisasi dan analisis kandungan senyawa metabolit sekunder pada ekstrak dengan metode Gas Chromatography-Mass Spectrometry (GC-MS). Terhadap ekstrak dilakukan pengukuran kadar fenol dan flavonoid total, dan uji aktivitas antioksidan dengan metode DPPH. Selanjutnya diuji aktivitas imunomodulator secara in vivo meliputi uji terhadap respons imun nonspesifik dan respon imun spesifik yang diberi imunogen sheep red blood cell (SRBC). Selanjutnya dilakukan uji aktivitas antiinflamasi pada model hewan yang mengalami inflamasi kronis. Pembuatan model hewan lupus dilakukan dengan pemberian 2,6,10,14-tetramethylpentadecane (pristan) secara intraperitoneal, dan setelah hewan uji dinyatakan mengalami kondisi lupus nefritis, dilanjutkan dengan pengobatan menggunakan ekstrak uji dan pembanding dilakukan selama 30 hari. Hasil penapisan fitokimia golongan metabolit sekunder menunjukkan keberadaan senyawa fenol, flavonoid, dan steroid/triterpenoid pada ketiga ekstrak tumbuhan. Melalui analisis GC-MS terkonfirmasi keberadaan senyawa terpenoid pada ketiga ekstrak tumbuhan. Kadar total fenol dan total flavonoid pada ekstrak etanol SC paling tinggi lainnya dengan kadar total fenol sebesar 40,39 ± 2,18 (g GAE/100 g) dan total flavonoid sebesar 2,15 ± 0,07 (g QE/100 g) dibandingkan dengan kedua ekstrak tumbuhan lainnya. Ekstrak etanol SC juga menunjukkan aktivitas antioksidan paling tinggi bila dibandingkan ekstrak etanol kedua tumbuhan lainnya dengan nilai antioxidant activity index (AAI) 4,22 dibandingkan dengan ekstrak etanol CC dan PC (AAI <1), sementara asam askorbat sebagai pembanding memberikan angka AAI sebesar 9,80. Pada uji aktivitas imunomodulator, ketiga ekstrak uji CC (375, 750, dan 1500 mg/kg bb), SC (100, 200, dan 400 mg/kg bb), dan PC (100, 200, dan 400 mg/kg bb) menunjukkan aktivitas imunosupresif dengan nilai indeks fagositik <1 sesuai dengan kriteria yang ditetapkan oleh Wagner dan Jurcic. Indeks hati dan limpa ketiga ekstrak uji pada seluruh dosis juga lebih kecil bila dibandingkan dengan kelompok kontrol (p<0,05). Ketiga ekstrak uji tidak berkhasiat terhadap respons imun humoral primer yang ditandai dengan tidak ada perbedaan titer antibodi total terhadap tantangan SRBC yang digunakan sebagai model imunogen. Sementara pada uji hipersensitivitas tipe lambat, ekstrak etanol CC menunjukkan aktivitas imunosupresan secara signifikan (p<0,05). Pada pengujian aktivitas terhadap model hewan inflamasi kronis, hewan diinduksi dengan Complete Freund’s Adjuvant (CFA) dengan cara penyuntikan secara intradermal pada telapak kaki kanan belakang dengan dosis induksi sebesar 0,05 mL/telapak kaki. Penyuntikan CFA menyebabkan terjadinya inflamasi kronis pada model hewan coba. Pemberian ekstrak uji dan pembanding serta pengamatan terhadap radang pada telapak kaki dan sendi dilakukan selama 30 hari. Ekstrak etanol SC dan PC pada dosis 560 mg/kg bb menunjukkan aktivitas sebagai antiinflamasi yang ditandai dengan rendahnya peradangan pada telapak kaki tikus selama pengamatan secara signifikan (p<0,05) pada hari ke-21 dan 24 dibandingkan dengan kelompok kontrol. Model hewan lupus nefritis berhasil diinduksi dengan 2,6,10,14- tetrametilpentadekana (pristan) yang ditandai dengan peningkatan beberapa parameter urin dibandingkan kelompok kontrol seperti kadar protein urin secara semikuantitatif (166,57 mg/dL) maupun kuantitatif (2686,71 mg/dL), penurunan kadar kreatinin urin (1,45 mg/dL), dan kenaikan rasio protein-kreatinin urin (36925,60) 6 bulan setelah dilakukan induksi. Pemberian terapi ekstrak uji dan pembanding pada kelompok hewan uji lupus nefritis yang dilakukan selama 30 hari menunjukkan terjadinya perbaikan kondisi hewan uji yang dilihat dari parameter protein urin (15,00-61,25 mg/dL), kreatinin urin (200-3,90 mg/dL), dan rasio protein-kreatinin urin (UPCR) (219-658). Kadar protein urin yang diukur secara semikuantitatif pada seluruh kelompok yang diberikan ekstrak uji mengalami penurunan secara signifikan (p<0,05). Kadar kreatinin urin pada seluruh kelompok yang diberikan ekstrak uji dan pembanding mengalami peningkatan dibandingkan dengan kontrol. Kelompok ekstrak SC pada dosis 200 dan 400 mg/kg bb dan ekstrak PC dosis 100, 200, dan 400 mg/kg bb mengalami penurunan UPCR yang signifikan (p<0,05). Pemeriksaan pada beberapa sitokin dan kemokin proinflamatori juga dilakukan antara lain pada IL-6, IL-17A, MCP-1, dan TWEAK. Selain itu diperiksa juga kadar komplemen C3b dan SGPT serum. Kadar IL-6 urin pada kelompok yang diberikan pengobatan baik menggunakan pembanding maupun ekstrak uji menunjukkan kadar yang lebih rendah daripada kelompok kontrol (18,90 pg/mL), dengan kadar IL-6 pada kelompok CC 1500 (3,50 pg/mL), PC 200 (5,18 pg/mL), dan PC 400 mg/kg bb (3,15 pg/mL) (p<0,05). Sementara kadar IL-6 serum pada kelompok yang diberikan pengobatan lebih rendah daripada kontrol namun tidak berbeda secara signifikan. Kadar IL-17A pada urin kelompok yang diberikan pembanding dan ekstrak lebih rendah daripada kontrol kecuali pada kelompok PC 200 dan 400, meskipun tidak berbeda bermakna. Kadar IL-17A serum kelompok CC 375 (3,56 pg/mL), 750 (2,84 pg/mL), 1500 (2,58 pg/mL); SC 200 (3,23 pg/mL), 400 (3,52 pg/mL); dan PC 100 (3,71 pg/mL), 200 (3,36 pg/mL), dan 400 (3,61 pg/mL) lebih rendah daripada kontrol (5,53 pg/mL) (p<0,05). Kadar sitokin MCP-1 urin pada kelompok yang diberikan ekstrak uji CC 375 (0,17 pg/mL) dan 1500 (0,61 pg/mL); SC 200 (0,81 pg/mL ) dan 400 mg/kg bb (1,19 pg/mL); dan ekstrak PC 100 (1,68 pg/mL), 200 (0,96 pg/mL), dan 400 mg/kg bb (0,83 pg/mL) lebih rendah secara signifikan (p<0,05) daripada kelompok kontrol (2,25 pg/mL). Kadar serum TWEAK CC 1500, SC 400, dan PC 400 mg/kg bb lebih rendah (91-92 pg/mL) dibandingkan dengan kelompok kontrol (103,25 pg/mL) meski tidak berbeda secara statistik. Kadar komplemen C3b serum pada beberapa kelompok uji menunjukkan hasil yang lebih tinggi daripada kelompok kontrol (1,12 pg/mL) dengan kadar C3b serum kelompok PC 200 (1,93 pg/mL) yang berbeda secara signifikan (p<0,05). Hasil pemeriksaan mikroskopik jaringan ginjal, hati, timus, dan limpa menunjukkan bahwa pemberian pristan menyebabkan kerusakan pada keempat organ tersebut yang ditandai dengan adanya infilitrasi sel radang dan penyempitan lumen tubulus pada ginjal, pembengkakan sel hepatosit dan infiltrasi sel radang pada hati, deplesi sel-sel limfosit pada timus, dan area pulpa alba dan rubra yang tidak berbatas jelas dan adanya nekrosis pada limpa. Pemberian ketiga ekstrak uji dan pembanding selama 30 hari belum memperlihatkan perbaikan organ yang signifikan bila dibandingkan dengan kontrol, meskipun secara fisiologis dari hasil pengujian protein dan sitokin baik pada urin dan serum telah terjadi perbaikan. Pengujian secara in silico terhadap beberapa senyawa yang terdapat dalam ekstrak uji menunjukkan adanya interaksi dengan sitokin dan reseptor sitokin. Interaksi terbesar ditunjukkan oleh senyawa dihidrokostunolida yang terdapat dalam PC, dan diikuti oleh 2-(4a,8-dimetil-1,2,3,4,4a,5,6,8a-oktahidro-2-naftalenil)-2-propanol yang terkandung dalam SC. Hasil prediksi interaksi senyawa metabolit sekunder dan sitokin serta reseptor sitokin menunjukkan adanya kemungkinan ikatan senyawa-senyawa yang terkandung dalam ekstrak dengan sitokin dan reseptor menyebabkan terhambatnya ikatan antara sitokin dan reseptor yang berdampak pada penurunan aktivitas sitokin. Prediksi ini sejalan dengan konsep kerja imunomodulator yaitu modulasi sitokin dan penghambatan inflamasi sebagai target utama senyawa yang berkhasiat sebagai. Hasil prediksi ini juga sejalan dengan uji in vivo yang dilakukan pada model hewan lupus nefritis yaitu kelompok yang diberikan ekstrak uji SC dan PC menunjukkan perbaikan fungsi ginjal dan penurunan kadar sitokin. Berdasarkan keseluruhan hasil penelitian, dapat disimpulkan model hewan lupus nefritis berhasil dibuat dalam 6 bulan dengan penyuntikan pristan secara intraperitoneal. Lupus nefritis ditandai dengan meningkatnya kadar protein urin, penurunan kreatinin urin, dan meningkatnya rasio protein dan kreatinin urin. Sitokin yang dapat dijadikan biomarker dalam penentuan keberhasilan terapi lupus antara lain adalah IL-6 dan MCP-1 yang ditentukan dari sampel urin, dan IL-17A dan C3b dari sampel serum. Pemberian ekstrak etanol CC, SC, dan PC berpotensi sebagai agen imunosupresif dapat digunakan untuk terapi lupus nefritis melalui perbaikan fungsi ginjal dan modulasi sitokin proinflamasi baik pada ginjal maupun secara sistemik.