Salah satu penyakit terkait sistem imun yaitu penyakit autoimun terus meningkat
populasinya di Indonesia. Terapi farmakologi untuk penyakit autoimun yang telah
digunakan hingga saat ini memiliki beberapa kekurangan seperti efek samping yang
cukup parah dan harga yang tidak terjangkau oleh banyak penderita. Salah satu
pendekatan yang dapat digunakan untuk mengatasi kondisi tersebut adalah terapi
dengan imunomodulator. Berbagai sumber senyawa imunomodulator dapat
diperoleh dari alam, salah satunya dari tumbuhan. Indonesia adalah negara yang
kaya akan tumbuhan obat, maka penelitian ini bertujuan menggali potensi
tumbuhan Indonesia untuk memperoleh suatu imunomodulator yang terbukti
khasiatnya secara eksperimental. Pada penelitian ini, tiga tumbuhan yaitu sereh
dapur (Cymbopogon citratus), jamblang (Syzygium cumini), dan nilam
(Pogostemon cablin) dipilih untuk dikaji efek imunomodulatornya. Penelitian
diawali dengan karakterisasi tumbuhan uji sesuai dengan metode WHO, diikuti
dengan ekstraksi kandungan senyawa aktif secara refluks dengan etanol 96%.
Selanjutnya dilakukan karakterisasi dan analisis kandungan senyawa metabolit
sekunder pada ekstrak dengan metode Gas Chromatography-Mass Spectrometry
(GC-MS). Terhadap ekstrak dilakukan pengukuran kadar fenol dan flavonoid total,
dan uji aktivitas antioksidan dengan metode DPPH. Selanjutnya diuji aktivitas
imunomodulator secara in vivo meliputi uji terhadap respons imun nonspesifik dan
respon imun spesifik yang diberi imunogen sheep red blood cell (SRBC).
Selanjutnya dilakukan uji aktivitas antiinflamasi pada model hewan yang
mengalami inflamasi kronis. Pembuatan model hewan lupus dilakukan dengan
pemberian 2,6,10,14-tetramethylpentadecane (pristan) secara intraperitoneal, dan
setelah hewan uji dinyatakan mengalami kondisi lupus nefritis, dilanjutkan dengan
pengobatan menggunakan ekstrak uji dan pembanding dilakukan selama 30 hari.
Hasil penapisan fitokimia golongan metabolit sekunder menunjukkan keberadaan
senyawa fenol, flavonoid, dan steroid/triterpenoid pada ketiga ekstrak tumbuhan.
Melalui analisis GC-MS terkonfirmasi keberadaan senyawa terpenoid pada ketiga
ekstrak tumbuhan. Kadar total fenol dan total flavonoid pada ekstrak etanol SC
paling tinggi lainnya dengan kadar total fenol sebesar 40,39 ± 2,18 (g GAE/100 g)
dan total flavonoid sebesar 2,15 ± 0,07 (g QE/100 g) dibandingkan dengan kedua
ekstrak tumbuhan lainnya. Ekstrak etanol SC juga menunjukkan aktivitas
antioksidan paling tinggi bila dibandingkan ekstrak etanol kedua tumbuhan lainnya
dengan nilai antioxidant activity index (AAI) 4,22 dibandingkan dengan ekstrak
etanol CC dan PC (AAI <1), sementara asam askorbat sebagai pembanding
memberikan angka AAI sebesar 9,80.
Pada uji aktivitas imunomodulator, ketiga ekstrak uji CC (375, 750, dan 1500
mg/kg bb), SC (100, 200, dan 400 mg/kg bb), dan PC (100, 200, dan 400 mg/kg
bb) menunjukkan aktivitas imunosupresif dengan nilai indeks fagositik <1 sesuai
dengan kriteria yang ditetapkan oleh Wagner dan Jurcic. Indeks hati dan limpa
ketiga ekstrak uji pada seluruh dosis juga lebih kecil bila dibandingkan dengan
kelompok kontrol (p<0,05). Ketiga ekstrak uji tidak berkhasiat terhadap respons
imun humoral primer yang ditandai dengan tidak ada perbedaan titer antibodi total
terhadap tantangan SRBC yang digunakan sebagai model imunogen. Sementara
pada uji hipersensitivitas tipe lambat, ekstrak etanol CC menunjukkan aktivitas
imunosupresan secara signifikan (p<0,05).
Pada pengujian aktivitas terhadap model hewan inflamasi kronis, hewan diinduksi
dengan Complete Freund’s Adjuvant (CFA) dengan cara penyuntikan secara
intradermal pada telapak kaki kanan belakang dengan dosis induksi sebesar 0,05
mL/telapak kaki. Penyuntikan CFA menyebabkan terjadinya inflamasi kronis pada
model hewan coba. Pemberian ekstrak uji dan pembanding serta pengamatan
terhadap radang pada telapak kaki dan sendi dilakukan selama 30 hari. Ekstrak
etanol SC dan PC pada dosis 560 mg/kg bb menunjukkan aktivitas sebagai
antiinflamasi yang ditandai dengan rendahnya peradangan pada telapak kaki tikus
selama pengamatan secara signifikan (p<0,05) pada hari ke-21 dan 24
dibandingkan dengan kelompok kontrol.
Model hewan lupus nefritis berhasil diinduksi dengan 2,6,10,14-
tetrametilpentadekana (pristan) yang ditandai dengan peningkatan beberapa
parameter urin dibandingkan kelompok kontrol seperti kadar protein urin secara
semikuantitatif (166,57 mg/dL) maupun kuantitatif (2686,71 mg/dL), penurunan
kadar kreatinin urin (1,45 mg/dL), dan kenaikan rasio protein-kreatinin urin
(36925,60) 6 bulan setelah dilakukan induksi. Pemberian terapi ekstrak uji dan
pembanding pada kelompok hewan uji lupus nefritis yang dilakukan selama 30 hari
menunjukkan terjadinya perbaikan kondisi hewan uji yang dilihat dari parameter
protein urin (15,00-61,25 mg/dL), kreatinin urin (200-3,90 mg/dL), dan rasio
protein-kreatinin urin (UPCR) (219-658). Kadar protein urin yang diukur secara
semikuantitatif pada seluruh kelompok yang diberikan ekstrak uji mengalami
penurunan secara signifikan (p<0,05). Kadar kreatinin urin pada seluruh kelompok
yang diberikan ekstrak uji dan pembanding mengalami peningkatan dibandingkan
dengan kontrol. Kelompok ekstrak SC pada dosis 200 dan 400 mg/kg bb dan
ekstrak PC dosis 100, 200, dan 400 mg/kg bb mengalami penurunan UPCR yang
signifikan (p<0,05).
Pemeriksaan pada beberapa sitokin dan kemokin proinflamatori juga dilakukan
antara lain pada IL-6, IL-17A, MCP-1, dan TWEAK. Selain itu diperiksa juga kadar
komplemen C3b dan SGPT serum. Kadar IL-6 urin pada kelompok yang diberikan
pengobatan baik menggunakan pembanding maupun ekstrak uji menunjukkan
kadar yang lebih rendah daripada kelompok kontrol (18,90 pg/mL), dengan kadar
IL-6 pada kelompok CC 1500 (3,50 pg/mL), PC 200 (5,18 pg/mL), dan PC 400
mg/kg bb (3,15 pg/mL) (p<0,05). Sementara kadar IL-6 serum pada kelompok yang
diberikan pengobatan lebih rendah daripada kontrol namun tidak berbeda secara
signifikan. Kadar IL-17A pada urin kelompok yang diberikan pembanding dan
ekstrak lebih rendah daripada kontrol kecuali pada kelompok PC 200 dan 400,
meskipun tidak berbeda bermakna. Kadar IL-17A serum kelompok CC 375 (3,56
pg/mL), 750 (2,84 pg/mL), 1500 (2,58 pg/mL); SC 200 (3,23 pg/mL), 400 (3,52
pg/mL); dan PC 100 (3,71 pg/mL), 200 (3,36 pg/mL), dan 400 (3,61 pg/mL) lebih
rendah daripada kontrol (5,53 pg/mL) (p<0,05).
Kadar sitokin MCP-1 urin pada kelompok yang diberikan ekstrak uji CC 375 (0,17
pg/mL) dan 1500 (0,61 pg/mL); SC 200 (0,81 pg/mL ) dan 400 mg/kg bb (1,19
pg/mL); dan ekstrak PC 100 (1,68 pg/mL), 200 (0,96 pg/mL), dan 400 mg/kg bb
(0,83 pg/mL) lebih rendah secara signifikan (p<0,05) daripada kelompok kontrol
(2,25 pg/mL). Kadar serum TWEAK CC 1500, SC 400, dan PC 400 mg/kg bb lebih
rendah (91-92 pg/mL) dibandingkan dengan kelompok kontrol (103,25 pg/mL)
meski tidak berbeda secara statistik. Kadar komplemen C3b serum pada beberapa
kelompok uji menunjukkan hasil yang lebih tinggi daripada kelompok kontrol (1,12
pg/mL) dengan kadar C3b serum kelompok PC 200 (1,93 pg/mL) yang berbeda
secara signifikan (p<0,05).
Hasil pemeriksaan mikroskopik jaringan ginjal, hati, timus, dan limpa
menunjukkan bahwa pemberian pristan menyebabkan kerusakan pada keempat
organ tersebut yang ditandai dengan adanya infilitrasi sel radang dan penyempitan
lumen tubulus pada ginjal, pembengkakan sel hepatosit dan infiltrasi sel radang
pada hati, deplesi sel-sel limfosit pada timus, dan area pulpa alba dan rubra yang
tidak berbatas jelas dan adanya nekrosis pada limpa. Pemberian ketiga ekstrak uji
dan pembanding selama 30 hari belum memperlihatkan perbaikan organ yang
signifikan bila dibandingkan dengan kontrol, meskipun secara fisiologis dari hasil
pengujian protein dan sitokin baik pada urin dan serum telah terjadi perbaikan.
Pengujian secara in silico terhadap beberapa senyawa yang terdapat dalam ekstrak
uji menunjukkan adanya interaksi dengan sitokin dan reseptor sitokin. Interaksi
terbesar ditunjukkan oleh senyawa dihidrokostunolida yang terdapat dalam PC, dan
diikuti oleh 2-(4a,8-dimetil-1,2,3,4,4a,5,6,8a-oktahidro-2-naftalenil)-2-propanol
yang terkandung dalam SC. Hasil prediksi interaksi senyawa metabolit sekunder
dan sitokin serta reseptor sitokin menunjukkan adanya kemungkinan ikatan
senyawa-senyawa yang terkandung dalam ekstrak dengan sitokin dan reseptor
menyebabkan terhambatnya ikatan antara sitokin dan reseptor yang berdampak
pada penurunan aktivitas sitokin. Prediksi ini sejalan dengan konsep kerja
imunomodulator yaitu modulasi sitokin dan penghambatan inflamasi sebagai target
utama senyawa yang berkhasiat sebagai. Hasil prediksi ini juga sejalan dengan uji
in vivo yang dilakukan pada model hewan lupus nefritis yaitu kelompok yang
diberikan ekstrak uji SC dan PC menunjukkan perbaikan fungsi ginjal dan
penurunan kadar sitokin.
Berdasarkan keseluruhan hasil penelitian, dapat disimpulkan model hewan lupus
nefritis berhasil dibuat dalam 6 bulan dengan penyuntikan pristan secara
intraperitoneal. Lupus nefritis ditandai dengan meningkatnya kadar protein urin,
penurunan kreatinin urin, dan meningkatnya rasio protein dan kreatinin urin.
Sitokin yang dapat dijadikan biomarker dalam penentuan keberhasilan terapi lupus
antara lain adalah IL-6 dan MCP-1 yang ditentukan dari sampel urin, dan IL-17A
dan C3b dari sampel serum. Pemberian ekstrak etanol CC, SC, dan PC berpotensi
sebagai agen imunosupresif dapat digunakan untuk terapi lupus nefritis melalui
perbaikan fungsi ginjal dan modulasi sitokin proinflamasi baik pada ginjal maupun
secara sistemik.