model laut dan atmosfer dalam satu sistem terpadu, memungkinkan pertukaran informasi dua
arah selama simulasi berlangsung. Berbeda dengan pendekatan uncoupled yang hanya
mempertimbangkan pengaruh satu arah, model kopel memberikan representasi yang lebih
realistis terhadap proses fisis laut-atmosfer. Output model atmosfer menjadi input bagi model
laut, dan sebaliknya, membentuk interaksi dua arah yang saling memengaruhi. Meskipun
memiliki keunggulan tersebut, penerapan model kopel masih jarang dilakukan di wilayah
Indonesia seperti di Selat Lombok. Dalam studi ini, sistem model kopel dibangun dengan
mengintegrasikan MITgcm sebagai model laut dan WRF sebagai model atmosfer melalui
ESMF sebagai mediator. Analisis dilakukan untuk periode Juni 2004 hingga Agustus 2004.
Hasil menunjukkan bahwa model kopel mampu mereduksi bias pemanasan berlebih yang
muncul sekitar 1,54°C pada simulasi model uncoupled. Efek reduksi ini terlihat signifikan di
wilayah pesisir dan zona sempit yang sangat sensitif terhadap pengaruh atmosfer.
Perbandingan nilai SPL dengan citra satelit MODIS Aqua dan OISST menunjukkan bahwa
model kopel menghasilkan distribusi SPL yang lebih mendekati kondisi sebenarnya. Selain
itu, model kopel juga memperlihatkan performa yang lebih stabil dan realistis dalam
mensimulasikan kecepatan angin, dengan pola yang lebih mendekati data QuikSCAT. Model
kopel menunjukkan kemampuan dalam meningkatkan akurasi simulasi kecepatan angin
dengan mereduksi bias hingga mencapai 0,1 m/s. Selain itu, model kopel juga menunjukkan
peningkatan akurasi dalam simulasi arus permukaan laut. Dibandingkan dengan simulasi
uncoupled, model kopel mampu menghasilkan pola arus yang lebih fokus di wilayah pesisir
dan selatan Jawa–Bali, serta lebih mendekati data observasi CMEMS. Secara statistik, model
kopel berhasil mereduksi bias kecepatan arus permukaan hingga 0,14 m/s. Penelitian ini
menegaskan bahwa model kopel dapat meningkatkan akurasi simulasi, baik untuk SPL, angin
permukaan, maupun arus permukaan.
Perpustakaan Digital ITB