Sebagai negara kepulauan dengan wilayah maritim yang luas dan kompleks,
Indonesia sangat dipengaruhi oleh interaksi antara laut dan atmosfer yang
menentukan dinamika cuaca dan iklim regional. Untuk memahami dinamika
tersebut secara lebih komprehensif, khususnya di wilayah tropis seperti Selat
Lombok, penelitian ini membandingkan performa model kopel laut-atmosfer
dengan model laut (MITgcm) dan atmosfer (WRF) yang berdiri sendiri. Simulasi
dilakukan selama 14 bulan (Januari 2004 – Februari 2005), dengan fokus analisis
pada musim barat 2005 (Desember 2004 – Februari 2005). Model kopel dibangun
dengan mengintegrasikan MITgcm dan WRF menggunakan Earth System
Modeling Framework (ESMF). Dua pendekatan dijalankan, yakni model kopel
sinoptik dan kontinu, untuk menguji sensitivitas terhadap cara eksekusi. Evaluasi
dilakukan terhadap empat parameter: suhu permukaan laut (SPL), angin di
ketinggian 10 meter, arus permukaan, dan presipitasi yang dibandingkan terhadap
data satelit dan reanalysis dari MODIS Aqua, OISST, MERRA-2, QuikSCAT,
CMEMS, CHIRPS, dan TRMM. Hasil menunjukkan bahwa model kopel mampu
mereduksi bias SPL hingga 2°C dibandingkan model MITgcm yang berdiri sendiri.
Akan tetapi, terdapat reduksi variabilitas SPL yang terjadi dibandingkan dengan
model laut yang berdiri sendiri. Arus permukaan tidak mengalami perubahan yang
signifikan saat dilakukan kopel. Di sisi lain, perbedaan signifikan pada parameter
angin hanya terjadi di wilayah laut. Hal ini dipengaruhi oleh kontribusi arus
permukaan dan SPL dari MITgcm ke WRF. Terlihat juga presipitasi yang tinggi
dalam model. Presipitasi juga dapat menangkap hujan orografis dan hujan dalam
skala kecil. Model kopel juga menghasilkan nilai bias dan RMSE yang lebih rendah
dibandingkan model yang berdiri sendiri, terutama untuk SPL. Perbedaan antara
pendekatan sinoptik dan kontinu lebih terlihat pada model atmosfer dibandingkan
laut, yaitu model kopel semakin menyerupai dengan model WRF yang berdiri
sendiri.
Perpustakaan Digital ITB