tunting merupakan kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat kekurangan gizi
kronis terutama pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK). Menurut World Health
Organization (WHO) tahun 2021, terdapat 22,2% atau sekitar 150,8 juta balita di
dunia mengalami stunting. Indonesia menempati peringkat ketiga stunting tertinggi
di Asia Tenggara. Pada tahun 2023, prevalensi stunting mencapai 21,6%, yang
berarti sekitar satu dari tiga anak mengalami gangguan pertumbuhan. Penyebab
stunting faktor multi dimensi, tidak hanya disebabkan oleh faktor gizi buruk yang
dialami oleh ibu hamil maupun anak balita. Penelitian sebelumnya melaporkan
defisiensi mikromineral seperti zat besi, seng, dan vitamin terbukti terkait dengan
kejadian stunting. Sebuah studi di Indonesia menemukan bahwa anak usia 6–59
bulan dengan defisiensi mikromineral memiliki prevalensi stunting yang lebih
tinggi, selain itu paparan logam berat seperti timbal (Pb) mulai diakui sebagai faktor
lingkungan penting yang turut berkontribusi terhadap risiko stunting anak. Penelitian
di pulau Bangka menunjukkan bahwa anak-anak dengan kadar timbal darah (BLL)
5,5 µg/dL memiliki odds ratio 9,75 kali lebih besar untuk stunting setelah dikontrol
asupan gizi mikro dan faktor sosial ekonomi. Timbal menyebabkan penurunan
sekresi gonadotropin, dan kelainan pada hormon pertumbuhan yang berkontribusi
pada perkembangan saraf yang merugikan, timbal telah terbukti neurotoksik, kadar
timbal yang tinggi dalam darah dihubungkan dengan intelegensi yang rendah pada
anak. Anak-anak dapat mengabsorbsi 4-5 kali lebih besar dibandingkan orang
dewasa serta merupakan kelompok yang rentan terhadap efek samping paparan
timbal.
Penelitian ini bertujuan menganalisis kadar mikromineral dalam darah balita stunting
dan tidak stunting serta mengkaji hubungan paparan timbal dan status mikromineral
dengan kejadian stunting, sekaligus mengidentifikasi sumber paparan lingkungan
serta mengevaluasi edukasi kesehatan pada ibu balita.
Metode penelitian ini terdiri atas dua komponen desain. Pertama, studi analitik
observasional dengan pendekatan cross-sectional (potong lintang) yang bertujuan
menganalisis 4 kadar logam, hubungan antara paparan timbal, kadar mikromineral
(Mn, Zn, dan Fe), serta kejadian stunting pada balita. Selanjutnya dilakukan survei
dan pengambilan sampel lingkungan di sekitar balita (air, makanan, sayuran, beras,
ikan, tanah, dan kerokan cat tembok) untuk mengidentifikasi kemungkinan sumber
paparan timbal. Kedua, studi kuasi-eksperimental dengan rancangan pre–post test
satu kelompok, digunakan untuk mengevaluasi intervensi edukasi kesehatan
terhadap peningkatan pengetahuan ibu balita mengenai stunting, mikromineral, dan
bahaya timbal.
Hasil penelitian dari 58 balita, 32 balita (55,2%) memiliki kadar timbal darah ?5
?g/dL, sebagian besar menunjukkan konsentrasi mangan yang tinggi 39 balita
(67,2%), memiliki kadar seng normal 53 balita (91,4%) dan banyak yang mengalami
defisiensi zat besi 38 balita (65,5%). Berdasarkan usia balita didapatkan usia 24-60
bulan lebih banyak ditemukan kadar timbal darah yang tinggi, tidak ada keterkaitan
signifikan Pb, Mn, Zn dan Fe dengan kejadian stunting (p > 0,05), sumber
lingkungan seperti sayuran yang terkontaminasi, dedaunan di pinggir jalan, tanah,
dan kerokan cat tembok diidentifikasi sebagai kontributor potensial paparan timbal.
Edukasi kesehatan secara signifikan meningkatkan pengetahuan ibu tentang stunting,
mikromineral, dan bahaya timbal (p < 0,05).
Kebaruan (novelty) dan orisinalitas penelitian ini, paparan timbal dalam darah balita
yang stunting dan tidak stunting di daerah pedesaan nonindustri belum diteliti di
Indonesia, penelitian sebelumnya hanya membahas tentang paparan timbal pada
anak di daerah resiko polusi lingkungan, daur ulang baterai asam, polusi asap
kendaraan di kota besar yang padat penduduk. Penelitian sebelumnya terkait stunting
hanya membahas faktor gizi dan sosial ekonomi, sedangkan penelitian ini
menambahkan dimensi paparan logam berat sebagai faktor risiko tambahan.
Kesimpulan penelitian separuh balita menunjukkan kadar timbal darah melebihi
standar kesehatan, mayoritas memiliki konsentrasi mangan yang berlebihan,
sebagian besar memiliki konsentrasi seng normal, dan banyak yang kekurangan zat
besi. Usia balita 24-60 bulan lebih banyak memiliki kadar timbal darah yang tinggi
dibandingkan umur balita 0-23 bulan, meskipun tidak ditemukan hubungan yang
signifikan antara kadar logam timbal, mangan, seng dan besi dengan stunting,
temuan menggarisbawahi interaksi kompleks faktor lingkungan dan gizi yang
mempengaruhi kesehatan anak. Sumber lingkungan seperti sayuran yang
terkontaminasi, dedaunan, tanah, dan kerokan cat tembok di identifikasi sebagai
kontributor potensial. Intervensi edukasi kesehatan yang disampaikan melalui
posyandu terbukti signifikan (p = 0,039 < 0,05), serta memiliki dampak praktis yang
cukup kuat.
Perpustakaan Digital ITB