Manusia mampu bertahan hidup sampai saat ini dengan memanfaatkan sumber daya alam yang meliputi ruang darat dan laut. Ruang laut dengan segala potensinya sudah memberikan manfaat dalam perikanan, industri maritim, energi terbarukan, konservasi laut, dan pariwisata. Indonesia memiliki wilayah perairan dengan luasnya mencapai 3.374.668 km2 atau sekitar 67% dari total wilayah negara, menjadikan indonesia memiliki sumber daya alam laut lebih banyak dibandingkan darat. Sehingga potensi sumber daya laut laut yang melimpah ini menjadi modal bagi Indonesia untuk mengembangkan tata kelola ruang laut dan pemanfaatan ekonomi biru. Dalam menata ruang laut membutuhkan sistem kadaster kelautan agar terdokumentasi, terstruktur, dan dapat dioperasikan lintas sektor. Secara umum, negara-negara yang mengimplementasikan kadaster kelautan telah mengembangkan Infrastruktur Data Spasial Laut (IDSL) sebagai penyedia data dan informasi geospasial. Penelitian ini bertujuan untuk memetakan kondisi IDSL di Indonesia serta menganalisis kesesuaiannya dengan kebutuhan implementasi kadaster kelautan. Kajian dilakukan melalui metode analisis deskriptif dengan pendekatan studi literatur dan mengkaji praktik IDSL yang telah diterapkan di beberapa negara, seperti Amerika Serikat, Australia, Kanada, dan wilayah Eropa. Penelitian ini berangkat dari meninjau perkembangan IDSL dan kadaster kelautan di Indonesia, meskipun telah mengembangkan kerangka infrastruktur data spasial nasional melalui Kebijakan Satu Peta, pengelolaan data spasial laut masih menghadapi berbagai tantangan, baik dari aspek regulasi, kelembagaan, maupun teknis. Hasil analisis menunjukkan bahwa pengembangan IDSL di Indonesia telah mengalami kemajuan, terutama dalam aspek hukum, kelembagaan, dan teknis. Dari sisi hukum, beberapa regulasi seperti UU Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial dan UU Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan telah menjadi dasar penguatan penyelenggaraan informasi spasial kelautan. Di sisi kelembagaan, terdapat 31 kementerian/lembaga yang telah ditetapkan sebagai walidata tematik oleh BIG, di mana 7 di antaranya berperan langsung dalam pengelolaan data spasial wilayah laut. Selain itu, Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2023 telah menunjuk Kementerian Kelautan dan Perikanan sebagai penanggung jawab perwujudan Informasi Geospasial Tematik untuk izin lokasi dan kesesuaian pemanfaatan ruang laut. Kajian ini menemukan bahwa IDSL saat ini masih belum sepenuhnya mendukung kebutuhan kadaster kelautan. Belum adanya regulasi yang secara khusus mendefinisikan kadaster kelautan maupun IDSL menyebabkan lemahnya dasar hukum bagi integrasi data antar instansi. Dari sisi kelembagaan, tata kelola dan kewenangan masih tersebar di berbagai kementerian dan lembaga, yang menjadikan penyelenggaraan data spasial laut bersifat sektoral. Koordinasi dan interoperabilitas data masih terbatas akibat perbedaan sistem, format, serta ketidakterpaduan antar geoportal kementerian/lembaga sebagai walidata. Berdasarkan aspek teknis, Indonesia telah mengadopsi standar metadata geospasial melalui SNI ISO 19115 dan 19115-2, serta menerapkan sistem referensi SRGI 2013 dan InaGeoid2020. Format data spasial juga telah ditetapkan dalam regulasi BIG, dengan shapefile/geodatabase untuk vektor dan Geotiff untuk raster. Meskipun implementasinya masih belum konsisten di seluruh instansi. Data spasial kelautan yang mencakup 13 objek ruang perairan tersedia di berbagai geoportal berbeda dan belum mencakup keseluruhan objek ruang perairan secara menyeluruh. Dengan demikian, IDSL tidak hanya berperan sebagai sistem penyedia informasi, tetapi juga sebagai pilar pendukung legalitas dan transparansi dalam pemanfaatan ruang laut. Diharapkan, penelitian ini dapat menjadi landasan awal bagi pengembangan sistem kadaster kelautan yang terintegrasi dan berkelanjutan di Indonesia, serta menjadi referensi ilmiah bagi studi-studi lanjutan di bidang informasi geospasial kelautan.
Perpustakaan Digital ITB