digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Teori perencanaan wilayah tidak bersifat stagnan. Teori perencanaan dapat muncul dalam konteks ilmu pengetahuan dan aspek tertentu secara substantif. Hal inilah yang menyebabkan pergeseran teori perencanaan prosedural menjadi teori perencanaan substantif. Teori resiliensi yang termasuk teori perencanaan substantif, sebagai teori yang muncul karena teori equilibrium tidak mampu merespon gangguan dan tekanan yang ada. Teori resiliensi ini muncul untuk menentang gagasan teori equilibrium yang menganggap sifat sistem akan mencapai kestabilan dan normalitas dalam kurun waktu tertentu. Hal ini dapat diartikan bahwa sistem tersebut tidak mengalami dinamika perubahan. Teori resiliensi sebagai perkembangan dari sistem sosial ekologi yang lebih fokus pada penyelesaian permasalahan sosial ekologi. Hal ini juga berseberangan dengan teori perencanaan yang komprehensif dan bersifat teknokratik. Teori resiliensi tidak mengedepankan proses perencanaan yang kompleks dan rigid, tapi lebih fokus pada penyelesaian masalah sesuai dengan lingkup perencanaan wilayah. Wilayah yang telah mengalami dampak bencana besar perlu menerapkan teori resiliensi. Resiliensi sebagai respon responsif untuk wilayah yang pernah mengalami bencana besar. Resiliensi dapat berkontribusi sebagai komponen dalam indeks risiko bencana karena resiliensi dapat menurunkan tingkat risiko sekaligus diperlukan sebagai proses pembelajaran untuk membangun kembali sebuah sistem pasca bencana besar. Sistem tersebut harus memiliki daya lenting untuk menghadapi bencana di masa yang akan datang lebih baik dari sebelumnya. Suatu sistem juga memiliki kemampuan bertransformasi meningkatkan kapasitasnya. Hal ini dikarenakan tahapan transformasi sebagai tahapan paling tinggi dalam resiliensi. Pencapaian suatu sistem hingga tahapan transformasi diawali dari tahapan adaptasi bencana, proses pembelajaran, dan absorptif. Penelitian ini bertujuan memformulasikan indeks risiko bencana. Formulasi ini menyempurnakan perhitungan risiko bencana. Komponen kapasitas pada rumus tersebut akan digantikan dengan komponen resiliensi. Dengan adanya resiliensi maka suatu sistem dapat merespon bencana dalam kapasitas adaptif, absorptif, dan transformatif. Sistem tersebut dapat tangguh terhadap bencana dan memiliki daya lenting untuk bertransformasi menjadi sistem yang baru pasca terjadi bencana bahkan ketika terjadi bencana berulang. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa Kota Palu telah terdapat inisiasi program-program resiliensi untuk mengurangi risiko bencana. Formulasi ini juga ditindaklanjuti dengan penilaian kualitas rencana tata ruang berdasarkan risiko bencana. Hasil dari penelitian ini juga membuktikanii Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Palu Tahun 2021-2041 telah mengakomodir programprogram resiliensi. Pada tahapan akhir dari formulasi Pengurangan Risiko Bencana (PRB) adalah uji model perencanaan tahapan rehabilitasi dan rekonstruksi. Uji model ini menghasilkan siklus manajemen bencana yang berbasis resiliensi.