Teori perencanaan wilayah tidak bersifat stagnan. Teori perencanaan dapat muncul dalam
konteks ilmu pengetahuan dan aspek tertentu secara substantif. Hal inilah yang menyebabkan
pergeseran teori perencanaan prosedural menjadi teori perencanaan substantif. Teori resiliensi
yang termasuk teori perencanaan substantif, sebagai teori yang muncul karena teori equilibrium
tidak mampu merespon gangguan dan tekanan yang ada. Teori resiliensi ini muncul untuk
menentang gagasan teori equilibrium yang menganggap sifat sistem akan mencapai kestabilan
dan normalitas dalam kurun waktu tertentu. Hal ini dapat diartikan bahwa sistem tersebut tidak
mengalami dinamika perubahan. Teori resiliensi sebagai perkembangan dari sistem sosial
ekologi yang lebih fokus pada penyelesaian permasalahan sosial ekologi. Hal ini juga
berseberangan dengan teori perencanaan yang komprehensif dan bersifat teknokratik. Teori
resiliensi tidak mengedepankan proses perencanaan yang kompleks dan rigid, tapi lebih fokus
pada penyelesaian masalah sesuai dengan lingkup perencanaan wilayah.
Wilayah yang telah mengalami dampak bencana besar perlu menerapkan teori resiliensi.
Resiliensi sebagai respon responsif untuk wilayah yang pernah mengalami bencana besar.
Resiliensi dapat berkontribusi sebagai komponen dalam indeks risiko bencana karena resiliensi
dapat menurunkan tingkat risiko sekaligus diperlukan sebagai proses pembelajaran untuk
membangun kembali sebuah sistem pasca bencana besar. Sistem tersebut harus memiliki daya
lenting untuk menghadapi bencana di masa yang akan datang lebih baik dari sebelumnya. Suatu
sistem juga memiliki kemampuan bertransformasi meningkatkan kapasitasnya. Hal ini
dikarenakan tahapan transformasi sebagai tahapan paling tinggi dalam resiliensi. Pencapaian
suatu sistem hingga tahapan transformasi diawali dari tahapan adaptasi bencana, proses
pembelajaran, dan absorptif.
Penelitian ini bertujuan memformulasikan indeks risiko bencana. Formulasi ini
menyempurnakan perhitungan risiko bencana. Komponen kapasitas pada rumus tersebut akan
digantikan dengan komponen resiliensi. Dengan adanya resiliensi maka suatu sistem dapat
merespon bencana dalam kapasitas adaptif, absorptif, dan transformatif. Sistem tersebut dapat
tangguh terhadap bencana dan memiliki daya lenting untuk bertransformasi menjadi sistem
yang baru pasca terjadi bencana bahkan ketika terjadi bencana berulang. Hasil penelitian ini
membuktikan bahwa Kota Palu telah terdapat inisiasi program-program resiliensi untuk
mengurangi risiko bencana. Formulasi ini juga ditindaklanjuti dengan penilaian kualitas
rencana tata ruang berdasarkan risiko bencana. Hasil dari penelitian ini juga membuktikanii
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Palu Tahun 2021-2041 telah mengakomodir programprogram resiliensi. Pada tahapan akhir dari formulasi Pengurangan Risiko Bencana (PRB)
adalah uji model perencanaan tahapan rehabilitasi dan rekonstruksi. Uji model ini
menghasilkan siklus manajemen bencana yang berbasis resiliensi.
Perpustakaan Digital ITB