digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

ABSTRAK_Ari Ani Mandala
PUBLIC Open In Flipbook Perpustakaan Prodi Arsitektur

Tata cahaya (baik alami maupun artifisial) berpotensi menjadi elemen desain penting yang dapat mendukung kesakralan gereja Katolik. Dampak Konsili Vatikan II menyebabkan perubahan pada karakter arsitektur gereja Katolik dan memunculkan isu memudarnya kesakralan pada gereja modern. Penelitian ini mengeksplorasi peran faktor-faktor pencahayaan di ruang ibadah gereja Katolik, dengan membandingkan dua karakteristik gereja klasik (Katedral St. Petrus, Bandung) dan kontemporer (St. Laurentius, Bandung) pada tiga skenario cahaya (pagi-cahaya alami, sore-cahaya gabungan, dan malam-cahaya buatan). Pendekatan kuantitatif-korelasional dan eksperimental digunakan untuk mengumpulkan data persepsi visual melalui kuesioner dan data fisiologis (perekaman detak jantung dan sinyal otak) yang dilengkapi dengan pengukuran fotometrik cahaya. Total 38 responden berpartisipasi dalam pengambilan data di ruang nyata dan ruang realitas virtual (VR) menggunakan foto HDR 3600. Analisis data dilakukan dengan metode statistik menggunakan JMP Pro 14 dan Structural Equation Modeling (SEM) yang diolah melalui SmartPLS 4 untuk mengungkap perbedaan persepsi antar skenario ruang dan cahaya serta mengidentifikasi hubungan antar faktor pencahayaan dan berbagai persepsi kejelasan visual, kenyamanan visual, dan pengalaman visual yang meliputi impresi ruang dan emosi spiritual. Secara umum, VR memiliki keunggulan dalam eksperimen terkontrol karena memungkinkan reproduksi yang lebih cepat dan efisiensi yang tinggi. Penelitian menegaskan teknologi VR dapat mereplikasi fotometrik pencahayaan buatan lebih akurat, tetapi masih terbatas dalam meniru spektrum warna dan intensitas cahaya alami karena keterbatasan spesifikasi perangkat VR. Foto 3600 yang ditampilkan dalam VR efektif mereplikasi skala ruang dan pengalaman emosional ruang sakral. Namun, sifat dinamis pencahayaan alami di ruang nyata, penggunaan gambar HDR, serta tampilan layar OLED dalam VR dapat menyebabkan perbedaan persepsi kejelasan dan kenyamanan visual di kedua lokasi. Penelitian ini memberikan referensi dasar untuk mengevaluasi persepsi kesakralan di ruang-ruang sakral. Pengalaman sakral dalam ruang gereja merupakan hasil interaksi antara dimensi emosional umat dengan suasana ruang yang dibentuk oleh arsitektur dan pencahayaan. Faktor kejelasan dan kenyamanan visual memengaruhi pengalaman visual yang dipersepsikan umat. Gereja klasik, dengan karakter monumental dan pencahayaan yang lebih redup, berwarna, dan kontras membangkitkan kekuatan spiritual meliputi kekaguman, harapan, dan kegembiraan sekaligus membuka ruang bagi penderitaan batin, seperti rasa takut, sedih, dan cemas. Sebaliknya, gereja kontemporer menawarkan pendekatan arsitektural yang lebih proporsional dan sederhana, dengan pencahayaan alami yang lembut dan merata, yang mendorong suasana nyaman, reflektif, dan penuh ketenangan batin. Temuan fisiologis menunjukkan bahwa cahaya berperan signifikan dalam memicu reaksi otak yang berkaitan dengan emosi spiritual. Selain untuk menarik perhatian, aksentuasi cahaya pada elemen simbol dapat mendukung fungsi devosi pada ruang ibadah yang ditandai dengan peningkatan frekuensi detak jantung. Peningkatan gelombang beta dan gamma di gereja klasik pada malam hari mengindikasikan ketidaknyamanan visual akibat silau, sementara rasio theta/beta dan theta/alpha meningkat pada pagi hari, mengarah pada pengalaman spiritual negatif. Hal ini tidak ditemukan di gereja kontemporer, yang pencahayaannya lebih mendukung kenyamanan visual. Metode neurofisiologis ini berpotensi untuk mendukung eksplorasi yang lebih mendalam terhadap pengalaman kesakralan. Penelitian menegaskan bahwa cahaya merupakan elemen kunci dalam membentuk atmosfer sakral yang khas pada masing-masing pendekatan arsitektur. Penelitian memberikan wawasan praktis bagi perancang dan pemangku kepentingan dalam merancang pencahayaan yang mendukung kesakralan ruang. Pengetahuan ini tidak hanya relevan untuk pengembangan desain pencahayaan ruang ibadah, tetapi juga berpotensi diterapkan pada ruang publik yang membutuhkan pengalaman emosional-spiritual serupa. Pendekatan ini dapat diperluas untuk mengeksplorasi peran cahaya dalam membentuk pengalaman kesakralan lintas budaya dan agama.