digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Studi ini mengevaluasi kelayakan strategis diversifikasi bisnis PT Bukit Asam (PTBA) ke pengembangan pembangkit listrik tenaga surya utility scale (PLTS) di lahan pasca-pertambangan (SPV-PML), sejalan dengan transformasi jangka panjang perusahaan menuju menjadi perusahaan energi berkelanjutan. PTBA menghadapi tekanan yang semakin besar akibat penurunan industri batubara secara global, pemanfaatan lahan pasca-pertambangan yang belum optimal, dan kebutuhan mendesak untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil. Sebagai respons, PTBA menargetkan 30% pendapatan perusahaan berasal dari energi terbarukan pada tahun 2030, menjadikan SPV-PML sebagai salah satu inisiatif strategis dalam peta jalan jangka panjangnya (RJPP). Masalahnya adalah bagaimana upaya memastikan diversifikasi tersebut berhasil dan dapat memberikan nilai jangka panjang bagi pemegang saham. Untuk itu, penulis mengusulkan solusi dengan menerapkan teori Porter’s Three Essential Tests sebagai kerangka kerja untuk menilai kelayakan diversifikasi ini. Porter’s Three Essential Tests terdiri dari tiga proses pengujian: Industry Attractiveness (mengevaluasi apakah industri baru secara struktural menarik dan menawarkan potensi keuntungan yang signifikan saat ini dan di masa depan), Cost of Entry (mengevaluasi apakah biaya masuk ke industri baru wajar dan tidak melebihi potensi keuntungan), dan Better-Off (Synergies) (memastikan bahwa diversifikasi akan menghasilkan manfaat yang lebih besar bagi perusahaan, baik melalui sinergi strategis maupun penciptaan nilai jangka panjang). bagi manajemen upaya memastikan suatu kesuksesan strategi implementasi Bisnis merupakan bentuk kehatia-hatian sebagai mitigasi risiko kegagalan diversifikasi business. Hasil penelitian pada Industry Attractiveness Test menunjukkan bahwa industri PLTS utility scale di lahan pascatambang (SPV-PML) memiliki daya tarik menengah (saat ini) dan tinggi (dimasa depan), yang berarti masih sangat relevan untuk dimasuki oleh PTBA. Daya tarik ini diperkuat oleh dukungan pemerintah melalui RUPTL 2025–2034 yang menargetkan kapasitas energi surya sebesar 17,1 GW, di mana 87% dialokasikan kepada Independent Power Producers (IPP). PTBA memiliki posisi strategis terkait kepemilikan lebih dari 2.200 Ha lahan pascatambang, citra sebagai pelaku energi hijau (melalui afiliasi PT BEST dan PT BEI), akses terhadap teknologi solar yang maju, serta pengalaman dalam pembangunan infrastruktur energi. Cost of Entry Test, dilakukan untuk mengevaluasi kelayakan finansial dari tiga proyek yaitu : Bantuas, Tanjung Enim, dan Ombilin. Hasilnya masing-masing proyek memiliki nilai investasi (CAPEX) sebesar USD 159,94 juta dan menunjukkan kelayakan finansial yang kuat. Ketiganya mencatat IRR di atas standar kelayakan investasi, NPV yang positif, serta periode pengembalian modal yang dapat diterima. Tanjung Enim menjadi proyek paling menarik, dengan IRR proyek sebesar 13,37%, IRR ekuitas sebesar 19,93%, dan masa pengembalian selama 4,7 tahun. LCOE (Levelized Cost of Electricity) dari ketiga proyek berada di kisaran 5,77 hingga 6,28 sen USD/kWh, menjadikan PTBA tetap kompetitif dalam harga jual listrik. Better-Off Test menunjukkan adanya sinergi yang kuat antara bisnis inti PTBA dan inisiatif SPV-PML. Selain keuntungan finansial, proyek ini menawarkan nilai strategis (potential economic of scope yang dapat disinergikan) melalui optimalisasi lahan pascatambang, peningkatan kompetensi SDM untuk operasional energi terbarukan, alih teknologi O&M, digitalisasi, serta keselarasan dengan prinsip ESG. Proyek ini diproyeksikan dapat menghasilkan pendapatan sebesar IDR 25,98 triliun selama 25 tahun, berkontribusi sekitar 2,2% terhadap total pendapatan PTBA dan mendukung pencapaian target kontribusi 30% dari sektor energi pada tahun 2030. Penelitian ini memberikan peta jalan strategis tidak hanya bagi PTBA, tetapi juga bagi perusahaan energi berbasis tambang lainnya di Indonesia. Analisis ini menunjukkan bagaimana evaluasi strategi yang terstruktur dapat membantu pengambilan keputusan yang efektif, meminimalkan risiko investasi, dan sekaligus mendorong keberlanjutan jangka panjang.