digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Rencana penghentian pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara dan transisi energi yang sedang berlangsung akan mengubah sektor energi Indonesia secara signifikan. Pergeseran ini diperkirakan akan menyebabkan penurunan permintaan batubara. Menanggapi perubahan ini, beberapa perusahaan batubara di Indonesia melakukan diversifikasi operasi mereka menjadi perusahaan energi hijau. Pemerintah Indonesia telah memperkenalkan berbagai paket insentif yang dirancang untuk mendorong pembangunan smelter nikel dan fasilitas pengolahan. Salah satu pemain penting dalam transisi ini adalah PT Harum Energy (HRUM), sebuah perusahaan yang secara tradisional berfokus pada batu bara tetapi telah secara signifikan memperluas operasinya dengan mengakuisisi tambang-tambang dan smelter nikel. Terlepas dari prospek nikel yang menjanjikan, HRUM menghadapi penurunan dramatis sebesar 99% tahun ini. Selain itu, harga saham HRUM telah menunjukkan volatilitas yang cukup besar sejak diversifikasi dimulai. Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk menganalisis kinerja keuangan selama diversifikasi ke sektor nikel dan mengevaluasi nilai intrinsik HRUM untuk memberikan saran kepada investor dalam mengambil keputusan di pasar saat ini. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dengan melihat data historis selama 5 tahun terakhir melalui laporan tahunan 2019-2023. Penulis menggunakan metode Discounted Cash Flow - Free Cash Flow to Firm (DCFFCFF) untuk menentukan nilai intrinsik saham yang dihitung sebesar US $0,037 atau Rp 570. Dengan harga pasar saat ini sebesar US $0,09 atau Rp 1.130, saham ini dianggap overvalued karena harga pasarnya melebihi nilai intrinsiknya. Analisis lebih lanjut juga dilakukan dengan menggunakan valuasi relatif, yang mendapatkan hasil di bawah rasio P/E overvalued, P/B overvalued, dan EV/EBITDA overvalued dibandingkan rata-rata industri. Oleh karena itu, penulis tidak merekomendasikan calon investor untuk membeli saham pada saat ini.