digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Perubahan iklim merupakan tantangan global yang memerlukan komitmen kolektif dalam mitigasi emisi gas rumah kaca, termasuk melalui optimalisasi potensi ekosistem pesisir. Salah satu pendekatan yang berkembang adalah pemanfaatan potensi blue carbon, yaitu karbon yang tersimpan dalam ekosistem pesisir seperti mangrove, padang lamun, dan rawa pasang surut. Mangrove menjadi ekosistem kunci karena kemampuannya dalam menyerap dan menyimpan karbon dalam jumlah signifikan. Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki peluang besar untuk memanfaatkan ekosistem mangrove dalam upaya mitigasi perubahan iklim. Penelitian ini dilakukan di wilayah Teluk Banten, yang merupakan bagian dari pesisir utara Wilayah Serang, Provinsi Banten. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis dinamika simpanan aboveground mangrove blue carbon selama tahun 2016–2024, mengevaluasi pengelolaan yang telah dilakukan, dan merumuskan strategi pengelolaan terintegrasi untuk mengoptimalkan potensi blue carbon. Penelitian ini menggunakan pendekatan gabungan kuantitatif dan kualitatif. Analisis spasial dilakukan terhadap perubahan luas dan simpanan karbon ekosistem mangrove menggunakan data citra satelit Sentinel 2A, dengan perhitungan model estimasi aboveground mangrove blue carbon melalui regresi linear berganda berdasarkan berbagai indeks vegetasi seperti EVI, MSAVI, SAVI, dan MNDWI. Data lapangan dikumpulkan dari 15 titik pengamatan dengan pengukuran biomassa vegetasi mangrove dan wawancara mendalam terhadap beberapa stakeholder dari tingkat tapak hingga tingkat atas yang memiliki pengaruh terhadap pengelolaan mangrove. Selain itu, penyusunan strategi pengelolaan dilakukan menggunakan metode Analytic Network Process (ANP) dengan penilaian prioritas berbasis masukan dari pakar dan hasil temuan lapangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara kumulatif, luas vegetasi mangrove mengalami peningkatan dari tahun 2016 (250,75 ha) hingga 2024 (373,80 ha), namun simpanan aboveground mangrove blue carbon mengalami penurunan sejak tahun 2020 (23,31 ton/ha) hingga 2024 (14,94 ton/ha). Penurunan tersebut diduga berkaitan dengan dinamika penggunaan lahan, lemahnya pengawasan di beberapa area tambak, dan konflik kepentingan antar stakeholder mengenai peruntukan lahan pesisir. Model regresi terbaik yang dibentuk memiliki nilai R² sebesar 0,6891 dengan validasi RMSE (9,55 ton/ha dan 49,95%) dan bias (21,74%) yang relatif rendah dibandingkan model lain yang telah dibuat pada penelitian ini, sehingga dapat digunakan untuk memprediksi nilai simpanan karbon pada tahun-tahun sebelumnya. Sebagian besar pengelolaan mangrove dijalankan oleh stakeholder di tingkat tapak, seperti kelompok tani hutan (KTH) dan penyuluh kehutanan swadaya masyarakat (PKSM), sementara peran pemerintah daerah dan instansi tingkat atas cenderung bersifat mendukung dan menjaga regulasi. Analisis hubungan antar stakeholder menunjukkan sebagian besar hubungan berada dalam kategori baik hingga sangat baik, meskipun terdapat beberapa indikasi konflik, khususnya terkait rencana alih fungsi tambak menjadi kawasan industri. Berdasarkan hasil wawancara dan analisis ekosistem mangrove, disusun lima kriteria utama yang menjadi dasar penyusunan strategi, yaitu teknis pengelolaan mangrove, koordinasi kelembagaan dan regulasi, kerja sama pihak swasta, akses masyarakat terhadap pengelolaan mangrove, serta pendanaan pengelolaan mangrove. Dua strategi prioritas yang direkomendasikan hasil dari ANP adalah: (1) peningkatan bantuan teknologi dalam kegiatan penanaman propagul mangrove dan pengamanan hasil panen tambak (0,40) dan (2) menstabilkan usaha secara kontinu dengan membangun kelembagaan masyarakat untuk mendukung penjagaan mangrove (0,35). Strategi ini tidak hanya ditujukan untuk menjaga dan meningkatkan simpanan karbon, tetapi juga untuk memperkuat ekonomi masyarakat pesisir.