Kenaikan muka air laut global merupakan salah satu dampak paling signifikan dari perubahan iklim global pada abad ke-21. Proyeksi terbaru menunjukkan potensi kenaikan hingga satu meter pada tahun 2100. Kondisi ini menjadi perhatian khusus bagi wilayah pesisir, termasuk Indonesia, karena lebih dari 150 juta penduduk tinggal di pesisir dan sangat bergantung pada keberlanjutan ekosistem pesisir seperti mangrove. Menariknya, catatan geologi menunjukkan bahwa pada pertengahan Holosen (~6000 tahun Before Present-BP), muka laut global pernah mengalami kenaikan hingga +5 m dari muka laut saat ini. Periode ini bertepatan dengan ekspansi ekosistem mangrove di berbagai wilayah tropis serta munculnya pusat-pusat peradaban awal di kawasan delta. Namun, variabilitas respon ekosistem mangrove terhadap kenaikan muka laut global belum sepenuhnya dipahami, terutama karena interaksi kompleks antara faktor RSL regional dan gerak vertikal tektonik yang bersifat lokal belum terintegrasi secara memadai dalam interpretasi perubahan lingkungan.
Penelitian ini bertujuan (1) untuk merekonstruksi dinamika mangrove sebagai respon terhadap fluktuasi muka air laut relatif pada Kala Holosen, (2) mengidentifikasi pengaruh gerak vertikal tektonik terhadap fluktuasi muka laut relatif, (3) mengevaluasi kontribusi aspek lingkungan lain seperti ruang akomodasi, salinitas, pelapukan, influks sedimen dari darat, dan curah hujan yang berkaitan dengan perubahan lingkungan Holosen. Untuk mencapai tujuan tersebut, penelitian ini menggunakan pendekatan multi-proksi melalui serangkaian analisis inti sedimen yang diperoleh dari lokasi penelitian.
Penelitian dilakukan dengan analisis inti sedimen dari tiga lokasi menggunakan bor tangan dan mesin (SKM-01, UG-7B, dan UGB-01), dengan interval pengambilan sampel setiap 10 cm. Analisis yang dilakukan meliputi analisis megaskopis, geokronologi (kalibrasi AMS 14C dan pemodelan Bayesian), granulometri, palinologi, dan geokimia (XRF). Kurva muka laut relatif direkonstruksi berdasarkan distribusi fasies polen dan dikoreksi terhadap RSL regional (berdasarkan data SEAMIS) untuk mengestimasi gerak vertikal. Data lingkungan lainnya, seperti ukuran butir, kandungan unsur, dan tipe vegetasi digunakan untuk mendeteksi dinamika perubahan lingkungan berskala centennial selama Holosen. Hasil dari berbagai analisis tersebut kemudian digunakan untuk menyusun interpretasi kronologis, terkait pola pengendapan, perubahan vegetasi dan fluktuasi muka laut di masing-masing lokasi penelitian.
Hasil analisis pentarikhan umur absolut menggunakan radiokarbon (14C) menunjukkan bahwa intibor-intibor yang diteliti terendapkan sejak 9400 tahun BP. Laju pengendapan lebih tinggi pada paruh waktu pertama Holosen dibandingkan dengan paruh waktu keduanya. Tekstur sedimen yang lebih kasar menunjukkan terjadinya sedimentasi dengan rejim arus yang lebih kuat kemungkinan berkaitan dengan menguatnnya pengaruh laut akibat kenaikan RSL regional. Hasil analisis polen merekam perubahan bentang vegetasi sebagai respon terhadap kenaikan muka air laut ini. Hutan mangrove belakang berkembang di sekitar lokasi titik bor Sukamanah antara 8250 hingga 6200 tahun BP. Hutan ini digantikan oleh hutan mangrove yang didominasi oleh Rhizophora pada kisaran 6200–6000 tahun BP. Penurunan RSL regional di paruh kedua Holosen ditandai oleh berkembangnya hutan mangrove belakang (6000-3200 tahun BP), dan kemudian digantikan oleh hutan dataran rendah sejak 3200 tahun BP hingga sekarang. Di lokasi bor Ujung Genteng, kenaikan muka laut paruh pertama Holosen (9400–9000 tahun BP) ditandai oleh berkembangnnya hutan dataran rendah sebelum digantikan oleh hutan mangrove belakang pada 9000–6200 tahun BP, dan oleh hutan mangrove sekitar 6200–6000 tahun BP. Hutan mangrove belakang berkembang lagi di paruh kedua Holosen (6000–4200 tahun BP) bersamaan dengan terjadinya penurunan RSL regional. Hutan dataran rendah menggantikan hutan mangrove belakang ini sejak 4200 tahun BP hingga masa kini. Rekonstruksi menggunakan hasil analisis polen itu menunjukkan tren kenaikan muka air laut relatif pada paruh pertama Holosen. Kenaikan ini mencapai titik tertinggi (Holocene Transgression Maximum-HTM) yaitu 2,58 m di atas muka laut saat ini di Sukamanah dan 2,15 m di Ujung Genteng pada 6000 tahun BP. Perbedaan ketinggian HTM antara kurva RSL regional dengan kurva muka laut relatif mengindikasikan terjadinya penurunan tektonik (tectonic subsidence) dengan laju sebesar 0,40 mm/tahun di Sukamanah dan 0,48 mm/tahun di Ujung Genteng. Tingginya influks unsur asal laut terutama Kalsium (Ca) menjadi indikator relatif tingginya salinitas pada paruh pertama Holosen. Ini mengkonfirmasi terjadinya penguatan pengaruh laut yang terjadi bersamaan dengan kenaikan muka air laut. Sebaliknya, peningkatan kandungan unsur-unsur asal darat terutama Titanium (Ti), Besi (Fe), dan Kalium (K) serta penurunan kandungan Kalsium (Ca) selama paruh kedua Holosen, mengindikasikan melemahnya pengaruh laut pada satu sisi dan menguatnya pengaruh dari darat pada sisi lain yang terjadi bersamaan dengan penurunan muka air laut. Di intibor Ujung Genteng, menguatnya pengaruh darat terkonfirmasi oleh peningkatan proporsi Avicennia yang mengindikasikan terjadinya siltasi secara intensif yang mendorong proses progradasi secara cepat terutama di muara sungai dan lingkungan sekitarnya.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mangrove dapat berkembang dengan baik selama Holosen di wilayah tektonik aktif. Rekonstruksi dinamika mangrove berdasarkan analisis palinologi dapat digunakan untuk merekonstruksi fluktuasi muka air laut relatif selama Kala Holosen serta memperkirakan laju tektonik di wilayah penelitian.
Perpustakaan Digital ITB