Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang menyerang sistem
kekebalan tubuh. Sedangkan Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) terjadi
pada tahap infeksi paling lanjut. HIV menyerang sel darah putih pada tubuh dan hal
ini membuat kita lebih muda terserang penyakit seperti tuberculosis, infeksi, dan
beberapa jenis kanker. HIV ditularkan melalui cairan tubuh orang yang terinfeksi
termasuk darah, air susu ibu (ASI), air mani, dan cairan vagina. Penyakit ini tidak
menular melalui air liur,sentuhan seperti ciuman atau pelukan, maupun berbagi
makanan. Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) yang rutin menjalani terapi
antiretroviral (ART) dan mempunyai viral load tidak terdeteksi tidak akan
menularkan HIV ke pasangannya. Oleh karena itu, akses dini terhadap pengobatan
ART dan dukungan yang berkelanjutan sangat penting untuk menjalani
pengobatan. Oleh karena itu tidak hanya meningkatkan kesehatan dan kualitas
hidup ODHA tetapi juga untuk membantu mencegah penularan HIV.
Kementerian Kesehatan berkolaborasi dengan berbagai pihak telah
mengembangkan model layanan HIV-PIMS (Human Immuno deficiency - Penyakit
Infeksi Menular Seksual) komprehensif dan berkesinambungan untuk memastikan
terselenggaranya layanan komprehensif yang terdesentralisasi dan terintegrasi
dalam sistem yang ada hingga ke Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP).
Kebijakan pengendalian HIV-AIDS mengacu pada kebijakan global Getting To
Zeros, menurunkan infeksi baru HIV; menurunkan kematian yang disebabkan oleh
keadaan yang berkaitan dengan AIDS; dan menghilangkan diskriminasi terhadap
ODHA (Orang dengan HIV/AIDS). Populasi terinfeksi HIV terbesar di dunia
adalah di Benua Afrika (25,7 juta orang), kemudian di Asia Tenggara (3,8 juta),
dan di Amerika (3,5 juta). Sedangkan yang terendah ada di Benua Pasifik Barat
sebanyak 1,9 juta orang. Melihat perkembangan yang berbeda dengan negara lain
di Asia Pasifik, HIV berkembang pesat pada negara-negara utama di Asia seperti
Indonesia, Pakistan dan Filipina dengan perilaku seks menyimpang (gay). Terdapat
94 % kasus baru pada usia muda yaitu 15 - 24 tahun.
Tingginya populasi orang terinfeksi HIV di Asia Tenggara mengharuskan
Indonesia untuk lebih waspada terhadap penyebaran dan penularan virus ini.
Pengobatan infeksi HIV selalu menjadi tantangan yang unik, mulai dari jumlah
obat, berbagai formulasi dan kombinasinya, potensi toksisitasnya, dan interaksi
obat yang menjadikan HIV salah satu penyakit yang paling sulit untuk ditangani.
Kepatuhan (adherence) merupakan faktor utama dalam mencapai keberhasilan
pengobatan infeksi virus HIV. Kepatuhan (adherence) adalah minum obat sesuai
dosis, tidak pernah lupa, tepat waktu, dan tidak pernah putus. Kepatuhan dalam
meminum obat ARV merupakan faktor terpenting dalam menekan jumlah virus
HIV dalam tubuh manusia. ARV dikonsumsi ODHA seumur hidup sehingga
penting untuk menjaga kepatuhan minum obat. Manfaat terapi antiretroviral (ART)
tidak akan maksimal jika tidak digunakan sesuai dengan resep.
Tidak semua faktor penyebab ketidakpatuhan bergantung pada pasien. Keharusan
membayar pengobatan mengurangi tingkat kepatuhan. Evaluasi ekonomi dapat
mendukung proses pengambilan keputusan dengan secara sistematis mengukur dan
membandingkan biaya dan hasil dari berbagai intervensi atau program kesehatan.
Evaluasi ekonomi didefinisikan sebagai analisis perbandingan antara berbagai
tindakan alternatif berdasarkan biaya dan konsekuensinya. Jaminan kesehatan yang
diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan diberikan melalui fasilitas kesehatan yang
telah menjalin kerjasama dengan BPJS Kesehatan. Fasilitas Kesehatan merupakan
milik Pemerintah, pemerintah daerah dan/atau swasta. Terdiri atas puskesmas atau
yang setara, praktek dokter, praktek dokter gigi, klinik pratama atau yang setara dan
RS kelas D pratama atau yang setara. Saat ini tersedia layanan baik di rumah sakit
maupun puskesmas yang dapat diakses untuk mendapatkan pengobatan terapi
antiretroviral (ARV).
Epidemi HIV mengancam kesehatan dan kehidupan generasi penerus bangsa yang
secara langsung membahayakan perkembangan sosial dan ekonomi serta keamanan
negara. Data dari Dinkes Kota Malang menyebutkan penemuan HIV positif tahun
2021 sebanyak 329 ODHIV (orang dengan HIV), tahun 2022 sebanyak 482 ODHIV
dan tahun 2023 sampai bulan Oktober 2023 sebanyak 460 ODHIV. Penemuan
ODHIV tahun 2023 sesuai data dari layanan HIV Kota Malang ini berasal dari
penduduk Kota Malang 32,4 %, sedangkan sisanya berasal dari 64 daerah di
Indonesia. Secara kumulatif ditemukan 6.886 ODHIV dan yang aktif dalam
pengobatan 2.071 ODHIV pada bulan Oktober 2023.
Studi ini dilakukan dalam 3 tahapan yaitu pertama melakukan psikometrik untuk
kuesioner kepatuhan ARMS (Adherence to Refills and Medication Scales) yang
telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Kuesioner ARMS versi Bahasa
Indonesia ini yang akan digunakan untuk mengukur kepatuhan pada pasien
HIV/AIDS. Tahapan kedua yaitu melakukan pengukuran kepatuhan, pengetahuan,
efek samping obat, dan dukungan sosial dengan menggunakan kuesioner kepada
pasien HIV/AIDS. Tahapan ketiga melakukan perhitungan Cost of Illness dari
perspektif pasien untuk mengukur beban ekonomi penyakit dan memperkirakan
jumlah maksimum yang berpotensi dapat disimpan atau dihemat jika penyakit itu
bisa di cegah.
Penelitian ini dilakukan di beberapa Rumah Sakit dan Puskesmas di Kota Malang
yang memiliki klinik VCT (Voluntary Counseling and Testing), diantaranya yaitu
Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Saiful Anwar (RSSA), RSI Unisma, Puskesmas
Dinoyo, Puskesmas Kendalsari, Puskesmas Pandanwangi, Puskesmas
Kendalkerep, dan Puskesmas Rampal Celaket. Tempat penelitian tersebut dipilih
karena mempunyai jumlah pasien HIV/AIDS yang banyak dibanding tempat
penelitian lainnya. Penelitian ini telah mendapatkan izin etik dengan nomor
E.5.a/041/KEPK-UMM/II/2023 dari KEPK Univ Muhammadiyah Malang dan
Lolos Kaji Etik dari Komite Etik Penelitian Kesehatan RSSA Malang Nomor :
400/102/K.3/102.7/2023. Pelaksanaan penelitian ini dimulai sejak Maret 2023
sampai Juli 2023. Penelitian ini diawali dengan melakukan psikometrik pada
kuesioner Adherence to Refills and Medication Scales (ARMS) versi Bahasa
Indonesia kepada pasien HIV/AIDS. Tahapan awal dalam melakukan psikometrik
adalah melakukan uji validitas menggunakan Content Validity Index (CVI) yang
melibatkan 11 panel ahli review dan 240 pasien HIV/AIDS sesuai kriteria inklusi.
Pada tahapan ini semua panel ahli diberikan kuesioner ARMS versi Bahasa
Indonesia yang telah di sesuaikan untuk pasien HIV/AIDS. Panel ahli memberikan
penilaian tentang tingkat kejelasan dan relevansi dari kuesioner ARMS untuk
pasien HIV/AIDS. Hasil dari masukan panel ahli tersebut digunakan untuk
melakukan revisi kuesioner ARMS versi Bahasa Indonesia untuk pasien
HIV/AIDS. Kuesioner yang telah direvisi akan diberikan kepada pasien HIV/AIDS.
Setelah dilakukan uji psikometrik terhadap kuesioner kepatuhan ARMS versi
Bahasa Indonesia maka dilanjutkan dengan mengukur pengetahuan, dukungan
sosial, efek samping obat dan Cost of Illness pada pasien HIV/AIDS. Pengetahuan
diukur dengan menggunakan kuesioner HIV-KQ 18, dukungan sosial
menggunakan kueisoner MPSS, dan efek samping obat menggunakan kuesioner
ACTG. Data penelitian untuk Cost of Illness disajikan dalam bentuk deskriptif
sebagai hasil dari interpretasi wawancara yang dijabarkan dalam bentuk uraian dan
Tabel.
Penilaian/uji psikometri validitas konstruk atau validitas konsep dilakukan melalui
Exploratory Factor Analysis (EFA) dan Confirmatory Factor Analysis (CFA).
Penelitian ini belum pernah dilakukan sebelumnya sehingga perlu dilakukan untuk
mengetahui konsistensi dari kuesioner ARMS 12 versi Bahasa Indonesia untuk
penyakit menular seperti HIV/AIDS dengan melanjutkan tahapan Confirmatory
Factor Analysis (CFA). Tahapan CFA dilakukan dengan menggunakan responden
pasien HIV/AIDS yang memenuhi kriteria inklusi, jumlah responden yaitu 240
pasien HIV/AIDS yang menjalani pengobatan ARV di RS dan Puskesmas di Kota
Malang. Dari penelitian ini maka diperoleh Nilai Kaiser Meyer Oikin Measure Of
Sampling Adequacy (KMO MSA) adalah 0,865, yang melebihi ambang batas
minimum sebesar 0.50. Selain itu nilai Sig adalah 0,000, yang lebih rendah dari
tingkat siginifikansi yang telah ditetapkan sebesar 0,05. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa asumsi untuk uji validitas Confirmatory Factor Analysis (CFA)
telah terpenuhi. Uji KMO dan Bartlett digunakan untuk memastikan kesesuaian
sampel untuk melakukan EFA. Hasil yang memuaskan dicapai dengan nilai KMO
> 0,80 dan Bartlett sphrecity < 0,001. Nilai anti Image Correlation dari 12 item
lebih besar dari 0,55 untuk semua item, maka dapat diartikan bahwa data yang
digunakan dalam analisis memenuhi syarat dan relevan untuk memenuhi asumsi
Measure Of Sampling Adequacy. Comparative Fit Index (CFI) sebesar 0,996 > 0,96
sehingga mempunyai arti good fit. Sedangkan Tucker-Lewis Index (TLI) sebesar
0,995 > 0,96 dan RMSEA 0,073 ?0,08. Namun demikian terdapat nilai faktor
yang rendah yaitu pada Q1 dan Q12, masing-masing 0,345 dan 0,219 . Pernyataan
kuesioner nomor 1 menjelaskan tentang “seberapa sering lupa meminum obat
antiretroviral”dan kuesioner nomor 12 tentang “rencana pengambilan obat kembali
sebelum obat habis”. Setelah ditelaah dari 12 item pernyataan, hanya pernyataan
nomor 12 yang bersifat unfavourable dan bisa menimbulkan kebingungan bagi
responden. Namun demikian item nomor 12 disarankan untuk tidak dihapus dan
tetap digunakan tanpa ada modifikasi. Untuk pernyataan nomor 1 meskipun nilai
faktor rendah tetapi masih dapat berkontribusi terhadap faktor. Confirmatory factor
analysis (CFA) kuesioner ARMS 12 versi Bahasa Indonesia diharapkan dapat
digunakan untuk mengukur kepatuhan terutama bagi responden dengan literasi
rendah maupun untuk masalah perilaku tidak patuh dalam penggunaan obat.
Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan
kepatuhan maka dilanjutkan dengan analisis data, yaitu analisis bivariat dan
mulitivariat. Analisis bivariat berfungsi untuk menganalisis dugaan hubungan
antara dua variabel. Analisis bivariat Interpretasi hasil uji chi-square dan korelasi
Spearman antara variabel-variabel yang disebutkan terhadap kepatuhan dengan
menggunakan kuesioner ARMS (Adherence to Refill and Medications Scale). Hasil
uji chi-square menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara usia
responden dengan kepatuhan penggunaan obat ART (p = 0,679, p > 0,05), terdapat
hubungan yang signifikan antara jenis kelamin responden dengan kepatuhan (p =
0,001, p < 0,05) dengan jumlah laki-laki 221 (45,5 %) dan perempuan 99 (20,4%)
responden, tidak ada hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan
responden dengan kepatuhan (p = 0,264, p > 0,05). Tidak ada hubungan yang
signifikan antara status pernikahan responden dengan kepatuhan penggunaan obat
ART (p = 0,586, p > 0,05). Hasil uji chi-square menunjukkan bahwa tidak ada
hubungan yang signifikan antara pekerjaan responden dengan kepatuhan (p =
0,732, p > 0,05). Adanya hubungan yang signifikan antara riwayat penyakit
responden dengan kepatuhan penggunaan obat ART (p = 0,000, p < 0,05). Hal ini
menunjukkan bahwa responden yang memiliki riwayat penyakit memiliki tingkat
kepatuhan yang berbeda dalam penggunaan obat dibandingkan dengan yang tidak
memiliki riwayat penyakit.Terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat
dukungan sosial responden dengan kepatuhan (p = 0,000, p < 0,05). Tidak ada
hubungan yang signifikan antara status pernikahan responden dengan kepatuhan (p
= 0,586, p > 0,05). Tidak ada hubungan yang signifikan antara status pernikahan
responden dengan kepatuhan (p = 0,586, p > 0,05). Ada hubungan yang signifikan
antara tingkat pengetahuan HIV responden dengan kepatuhan penggunaan obat
ART (p = 0,000, p < 0,05). Terdapat hubungan yang signifikan antara skor ACTG
untuk mengukur efek samping obat dengan kepatuhan penggunaan ART (p = 0,046,
p < 0,05).
Analisis multivariat menggunakan regresi logistik dengan bantuan SPSS untuk
menetapkan adanya hubungan atau pengaruh antara faktor-faktor yang
mempengaruhi kepatuhan dalam penggunaan obat antoretroviral (ARV). Secara
keseluruhan, model regresi logistik tersebut mampu menjelaskan sekitar 17,8% (R
square = 0,178) dari variabilitas dalam tingkat kepatuhan dalam penggunaan obat
ARV pada pasien HIV/AIDS. Sedangkan sisanya 82,2% dijelaskan oleh variabel
lain diluar penelitian ini.
Studi Cost of Illnes (COI) atau analisis biaya penyakit mengukur beban
ekonomi penyakit dan memperkirakan jumlah maksimum yang berpotensi dapat
disimpan atau dihemat jika penyakit itu dapat di cegah. Cost of Ilness pada studi ini
terdiri dari biaya medis langsung (Direct Medical Cost), biaya non medis langsung
(Indirect Medical Cost), dan biaya tak langsung (Indirect Cost). Dari hasil
penelitian maka didapatkan hasil dari biaya medis langsung yang terdiri dari biaya
minimum (Rp 85.500), biaya maximum (Rp 3.164.000), rata-rata biaya (Rp
232.673) dan jumlah biaya medis langsung (Rp 105.639.490). Biaya non-medis
langsung terdiri dari biaya minimum (Rp 0), biaya maximum (Rp 330.000), ratarata biaya (Rp 34.086) dan jumlah biaya non-medis langsung (Rp 16.566.000).
Biaya tidak langsung terdiri dari biaya minimum (Rp 0), biaya maximum (Rp
2.583.000), rata-rata biaya (Rp 98.114) dan jumlah biaya tidak langsung (Rp
48.072.461). Total Cost of Illness pada pasien HIV/AIDS di Kota Malang meliputi
biaya minimum sebesar Rp 85.500, biaya maximum sebesar Rp 6.077.973, ratarata biaya sebesar Rp Rp 364.873 dan jumlah keseluruhan Cost of Illness sebesar
Rp170.277.951 setiap bulannya.
Berdasarkan hasil penelitian secara keseluruhan bahwa penelitian ini dapat
mendukung penerapan lintas budaya dan konsep-konsep yang mendasar dari
kepatuhan penggunaan obat antiretroviral dengan menghasilkan kuesioner
Adherence to Refills and Medications Scale (ARMS) versi Bahasa Indonesia yang
dapat digunakan untuk mengukur kepatuhan pasien dengan penyakit menular
terutama HIV/AIDS. Secara keseluruhan ada hubungan kepatuhan dengan
dukungan sosial (MSPSS), pengetahuan (HIV-KQ 18), dan efek samping obat
(ACTG), dengan nilai regresi logistik (R square = 0,178). Pencegahan dan edukasi
kepada masyarakat diperlukan untuk meminimalkan penularan penyakit HIV/AIDS
bila ditinjau dari total Cost of Illness sehingga beban pemerintah dan masyarakat
menjadi berkurang.