digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Peninjauan Rencana Tata Ruang dan Wilayah dapat dilakukan apabila terjadi perubahan lingkungan salah satunya akibat bencana alam seperti gerakan tanah. Pasca terjadi gerakan tanah, tata guna lahan dapat berubah terutama jika harus relokasi permukiman terdampak. Sementara perubahan tata guna lahan juga menjadi salah satu penyebab meningkatnya frekuensi bencana gerakan tanah. Tata guna lahan lebih banyak dikaji sebagai parameter statis dalam studi kerentanan gerakan tanah (landslide susceptibility) sedangkan dinamikanya relatif jarang diperhitungkan. Perubahan pada parameter tata guna lahan seharusnya pun akan mengubah kerentanan gerakan tanah daerah tersebut. Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi perubahan tata guna lahan dan menggunakannya dalam kajian kerentanan gerakan tanah. Kabupaten Sumedang khususnya di bagian barat mengalami perubahan tata guna lahan yang intensif sejak pembangunan Tol Cisumdawu, perkembangan perguruan tinggi, dan perluasan kawasan industri. Tujuannya adalah untuk mengetahui pengaruh perubahan tata guna lahan tersebut terhadap tingkat kerentanan bencana gerakan tanah di Sumedang bagian barat sebagai masukan bagi perencanaan tata ruang berbasis penanggulangan bencana gerakan tanah. Identifikasi perubahan tata guna lahan dilakukan secara spasial berbasis citra satelit Landsat 8 Oli dengan mengklasifikasikan jenis tata guna lahan untuk tahun 2013, 2018, dan 2024. Klasifikasi menggunakan metode maximum likelihood classification (MLC) yang mengelompokkan berdasarkan reflektansi masing-masing kelas tata guna lahan yang dibuat oleh pengguna. Hasil analisis perubahan tata guna lahan dimasukkan sebagai parameter penentuan tingkat kerentanan gerakan tanah melalui analisis frequency ratio (FR) bersama dengan parameter geologi, kelerengan, hidrologi, dan jaringan jalan. Tata guna lahan kemudian diproyeksikan menggunakan metode random forest (RF) untuk memprediksikan kerentanan di tahun proyeksi sebagai bahan masukan dan dasar penyusunan rekomendasi. Sumedang bagian barat memiliki bentang alam perbukitan yang merupakan bagian hulu dari DAS Citarum dan DAS Cimanuk-Cisanggarung. Daerah ini memiliki catatan kejadian bencana gerakan tanah yang tinggi, meliputi sekitar 40% dari total kejadian gerakan tanah di Kabupaten Sumedang namun sebagian wilayahnya akan dikembangkan menjadi permukiman perkotaan. Hasil klasifikasi tata guna lahanii berdasarkan citra Landsat 8 tahun 2013 – 2024 membagi daerah penelitian menjadi 5 kelas, yaitu hutan, lahan terbuka, pertanian, permukiman, dan terbangun lain. Kelas hutan dan lahan terbuka cenderung terus berkurang sedangkan pertanian, permukiman, dan lahan terbangun lain terus meluas. Perubahan tata guna lahan ini berpengaruh terhadap kerentanan gerakan tanah dengan indeks prediction rate (PR) dari nilai FR sebesar 4,725. Tingkat kerentanan dibagi menjadi zona sangat rendah, zona rendah, zona menengah, dan zona tinggi berdasarkan total nilai FR seluruh parameter. Perbandingan tingkat kerentanan gerakan tanah tahun 2013 dan 2024 menunjukkan lahan terbuka paling berpengaruh terhadap kerentanan gerakan tanah sedangkan alih fungsi hutan cenderung meningkatkan kerentanan gerakan tanah. Permukiman relatif lebih aman terhadap tingkat kerentanan dibandingkan pertanian sementara terbangun lain relatif tidak berpengaruh terhadap kerentanan. Sementara itu, gerakan tanah lebih banyak terjadi pada tata guna lahan yang tidak berubah. Alih fungsi lahan pada tahun proyeksi 2033 yang berkaitan dengan perubahan tingkat kerentanan dapat dibagi menjadi 5 wilayah, yaitu wilayah pendidikan Jatinangor, wilayah Gunungmanik – Parakan Muncang, wilayah twin tunnel Cisumdawu, wilayah Geotheater Rancakalong, dan wilayah Perkotaan Sumedang. Perkembangan permukiman di Jatinangor dan Gunungmanik – Parakan Muncang dapat meningkatkan kerentanan, sama halnya dengan pembukaan hutan di area twin tunnel dan Rancakalong. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa Rencana Tata Ruang dan Wilayah di 5 wilayah temuan sudah sesuai dengan tingkat kerentanan bencana gerakan tanah. Namun, hasil proyeksi yang dibuat berdasarkan kondisi terkini menggambarkan bahwa implementasi di lapangan cenderung kurang memperhatikan aspek penanggulangan bencana. Diperlukan adanya intervensi terhadap kelima wilayah temuan karena berpotensi mengalami perubahan tingkat kerentanan gerakan tanah.