








Peninjauan Rencana Tata Ruang dan Wilayah dapat dilakukan apabila terjadi
perubahan lingkungan salah satunya akibat bencana alam seperti gerakan tanah.
Pasca terjadi gerakan tanah, tata guna lahan dapat berubah terutama jika harus
relokasi permukiman terdampak. Sementara perubahan tata guna lahan juga
menjadi salah satu penyebab meningkatnya frekuensi bencana gerakan tanah. Tata
guna lahan lebih banyak dikaji sebagai parameter statis dalam studi kerentanan
gerakan tanah (landslide susceptibility) sedangkan dinamikanya relatif jarang
diperhitungkan. Perubahan pada parameter tata guna lahan seharusnya pun akan
mengubah kerentanan gerakan tanah daerah tersebut. Penelitian ini dilakukan untuk
mengidentifikasi perubahan tata guna lahan dan menggunakannya dalam kajian
kerentanan gerakan tanah. Kabupaten Sumedang khususnya di bagian barat
mengalami perubahan tata guna lahan yang intensif sejak pembangunan Tol
Cisumdawu, perkembangan perguruan tinggi, dan perluasan kawasan industri.
Tujuannya adalah untuk mengetahui pengaruh perubahan tata guna lahan tersebut
terhadap tingkat kerentanan bencana gerakan tanah di Sumedang bagian barat
sebagai masukan bagi perencanaan tata ruang berbasis penanggulangan bencana
gerakan tanah. Identifikasi perubahan tata guna lahan dilakukan secara spasial
berbasis citra satelit Landsat 8 Oli dengan mengklasifikasikan jenis tata guna lahan
untuk tahun 2013, 2018, dan 2024. Klasifikasi menggunakan metode maximum
likelihood classification (MLC) yang mengelompokkan berdasarkan reflektansi
masing-masing kelas tata guna lahan yang dibuat oleh pengguna. Hasil analisis
perubahan tata guna lahan dimasukkan sebagai parameter penentuan tingkat
kerentanan gerakan tanah melalui analisis frequency ratio (FR) bersama dengan
parameter geologi, kelerengan, hidrologi, dan jaringan jalan. Tata guna lahan
kemudian diproyeksikan menggunakan metode random forest (RF) untuk
memprediksikan kerentanan di tahun proyeksi sebagai bahan masukan dan dasar
penyusunan rekomendasi.
Sumedang bagian barat memiliki bentang alam perbukitan yang merupakan bagian
hulu dari DAS Citarum dan DAS Cimanuk-Cisanggarung. Daerah ini memiliki
catatan kejadian bencana gerakan tanah yang tinggi, meliputi sekitar 40% dari total
kejadian gerakan tanah di Kabupaten Sumedang namun sebagian wilayahnya akan
dikembangkan menjadi permukiman perkotaan. Hasil klasifikasi tata guna lahanii
berdasarkan citra Landsat 8 tahun 2013 – 2024 membagi daerah penelitian menjadi
5 kelas, yaitu hutan, lahan terbuka, pertanian, permukiman, dan terbangun lain.
Kelas hutan dan lahan terbuka cenderung terus berkurang sedangkan pertanian,
permukiman, dan lahan terbangun lain terus meluas. Perubahan tata guna lahan ini
berpengaruh terhadap kerentanan gerakan tanah dengan indeks prediction rate (PR)
dari nilai FR sebesar 4,725. Tingkat kerentanan dibagi menjadi zona sangat rendah,
zona rendah, zona menengah, dan zona tinggi berdasarkan total nilai FR seluruh
parameter. Perbandingan tingkat kerentanan gerakan tanah tahun 2013 dan 2024
menunjukkan lahan terbuka paling berpengaruh terhadap kerentanan gerakan tanah
sedangkan alih fungsi hutan cenderung meningkatkan kerentanan gerakan tanah.
Permukiman relatif lebih aman terhadap tingkat kerentanan dibandingkan pertanian
sementara terbangun lain relatif tidak berpengaruh terhadap kerentanan. Sementara
itu, gerakan tanah lebih banyak terjadi pada tata guna lahan yang tidak berubah.
Alih fungsi lahan pada tahun proyeksi 2033 yang berkaitan dengan perubahan
tingkat kerentanan dapat dibagi menjadi 5 wilayah, yaitu wilayah pendidikan
Jatinangor, wilayah Gunungmanik – Parakan Muncang, wilayah twin tunnel
Cisumdawu, wilayah Geotheater Rancakalong, dan wilayah Perkotaan Sumedang.
Perkembangan permukiman di Jatinangor dan Gunungmanik – Parakan Muncang
dapat meningkatkan kerentanan, sama halnya dengan pembukaan hutan di area twin
tunnel dan Rancakalong. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa Rencana Tata
Ruang dan Wilayah di 5 wilayah temuan sudah sesuai dengan tingkat kerentanan
bencana gerakan tanah. Namun, hasil proyeksi yang dibuat berdasarkan kondisi
terkini menggambarkan bahwa implementasi di lapangan cenderung kurang
memperhatikan aspek penanggulangan bencana. Diperlukan adanya intervensi
terhadap kelima wilayah temuan karena berpotensi mengalami perubahan tingkat
kerentanan gerakan tanah.