Industri farmasi Indonesia berperan penting dalam kesehatan nasional dan pembangunan ekonomi, namun masih bergantung lebih dari 90% pada bahan baku farmasi aktif (Active Pharmaceutical Ingredients/API) impor, yang membuatnya rentan terhadap gangguan rantai pasok, sebuah kerentanan yang terungkap selama pandemi COVID-19. Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah memperkenalkan Kebijakan Change Source untuk mendorong penggunaan API yang diproduksi secara lokal. Penelitian ini mengkaji implementasi dan dampak kebijakan tersebut melalui pendekatan teori kelembagaan, dengan fokus pada interaksi antara produsen API, importir, perusahaan formulasi obat, fasilitas kesehatan, badan regulasi, dan laboratorium pengujian. Pendekatan kualitatif digunakan, dengan pengumpulan data melalui wawancara mendalam dan analisis menggunakan metode tematik dan naratif. Alat seperti problematic linkage matrix dan rich pictures digunakan untuk memetakan hubungan kompleks dan tantangan kelembagaan yang dihadapi para pemangku kepentingan.
Kebijakan ini membuka peluang bagi produsen API lokal melalui peningkatan permintaan, insentif pemerintah, dan dukungan inovasi. Namun, mereka menghadapi tantangan berupa biaya investasi tinggi, infrastruktur terbatas, dan persaingan dengan API impor. Importir kehilangan permintaan dan pangsa pasar, sementara perusahaan formulasi obat menghadapi tingginya biaya uji bioekuivalensi dan regulasi. Fasilitas kesehatan harus menanggung risiko audit dan biaya pengadaan lebih tinggi karena API lokal sering kurang kompetitif. Badan regulasi dan laboratorium pengujian mengalami beban kerja meningkat, infrastruktur kurang memadai, dan kolaborasi terbatas. Penelitian ini merekomendasikan perpanjangan sertifikasi, penyederhanaan regulasi, peningkatan infrastruktur, penguatan R&D, kolaborasi lintas sektor, serta insentif dan kontrol impor untuk memperkuat ketahanan rantai pasok farmasi.