digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Peningkatan kasus Human Immunodeficiency Virus (HIV) pada kelompok penasun (pengguna NAPZA suntik) terutama jenis narkoba golongan opioid, tidak terlepas dari meningkatnya penggunaan narkoba di masyarakat, terutama melalui penyuntikan. Penasun yang menderita HIV akan menerima obat ARV selain terapi rumatan metadon. Permasalahan dapat timbul pada pemberian kedua terapi tersebut karena kedua obat dimetabolisme oleh enzim CYP3A4 yang mempengaruhi pemberian dosis metadon. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil dosis metadon pada ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) penasun serta menilai pengaruh terapi ARV lini pertama dan kedua terhadap dosis metadon. Populasi yang diteliti adalah pasien yang sedang menjalani terapi metadon di Poliklinik Metadon Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung. Penelitian dilakukan secara kuantitatif dengan desain potong lintang menggunakan data rekam medik pasien periode Januari – Maret 2024, baik yang menerima terapi ARV maupun non-ARV, saat menjalani terapi rumatan metadon pada tahap rumatan. Penelitian dilakukan pada 29 Mei – 10 Juni 2024. Data pada penelitian ini berupa karakteristik demografi (usia, pendidikan terakhir, pekerjaan, jenis kelamin, jenis NAPZA), dosis rata-rata metadon pasien non-ARV pada tahap rumatan, dosis rata-rata metadon pasien ARV pada tahap inisiasi dan tahap rumatan, dan dosis rata-rata kombinasi ARV. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dosis metadon pada tahap inisiasi (15-60 mg) berbeda bermakna (p=0,00) dengan dosis rata-rata 3 bulan terakhir pada tahap rumatan (23-177 mg). Dosis metadon pada pasien ARV (23-177 mg) berbeda bermakna (p=0,02) dengan pasien non-ARV (3-125 mg). Kombinasi ARV yang menyebabkan peningkatan dosis metadon paling rendah adalah kombinasi lamivudin/zidovudin+efaviren (2%), sedangkan yang menyebabkan peningkatan dosis metadon paling tinggi adalah kombinasi lopinavir/ritonavir+dolutegravir (17,5%).