digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Produk kosmetik yang beredar di Indonesia harus memiliki status hukum yang jelas mengenai halal dan tidak halal pada Oktober 2026. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kesiapan Pemerintah dan pelaku usaha dalam menghadapi kewajiban sertifikasi halal, serta persepsi masyarakat mengenai kosmetik halal. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metodologi campuran, dengan menggabungkan metode kualitatif dan kuantitatif. Wawancara semi-terstruktur dilakukan terhadap perwakilan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Wawancara juga dilakukan kepada pelaku usaha yang terdiri dari 4 industri kosmetik dan 4 importir kosmetik. Data kuantitatif persepsi masyarakat terhadap kosmetik halal diperoleh dengan menggunakan kuesioner yang telah divalidasi. Pemerintah memandang bahwa secara umum peraturan dan sistem yang diperlukan untuk menangani kewajiban halal telah selesai. Hanya beberapa peraturan yang saat ini sedang dalam pembahasan terkait kosmetik impor. Dari sisi pelaku usaha, importir kosmetik masih terkendala dalam melakukan sertifikasi halal karena peraturan yang belum lengkap, dan insentif yang dirasakan masih lemah untuk mengejar sertifikasi halal. Sementara itu, industri kosmetik lebih siap karena regulasi yang dibutuhkan sudah tersedia secara lengkap. Dari sisi konsumen, hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan konsumen memiliki persepsi yang positif terhadap kosmetik halal. Sebanyak 46,58% responden sangat setuju dan 44,30% responden setuju bahwa kosmetik non luxury perlu bersertifikat halal. Sebanyak 45,60% responden sangat setuju dan 45,28% responden setuju bahwa kosmetik luxury perlu bersertifikat halal. Studi ini menemukan bahwa peraturan kosmetik halal sudah siap tetapi masih ada beberapa aspek yang kurang untuk mendukung sertifikasi halal kosmetik impor. Persepsi masyarakat yang positif terhadap sertifikasi halal, dapat menjadi insentif bagi pelaku usaha, termasuk importir untuk melakukan sertifikasi halal.