Produk kosmetik yang beredar di Indonesia harus memiliki status hukum yang jelas
mengenai halal dan tidak halal pada Oktober 2026. Penelitian ini dilakukan untuk
mengetahui kesiapan Pemerintah dan pelaku usaha dalam menghadapi kewajiban
sertifikasi halal, serta persepsi masyarakat mengenai kosmetik halal. Penelitian
dilakukan dengan menggunakan metodologi campuran, dengan menggabungkan
metode kualitatif dan kuantitatif. Wawancara semi-terstruktur dilakukan terhadap
perwakilan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) dan Badan
Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Wawancara juga dilakukan kepada pelaku
usaha yang terdiri dari 4 industri kosmetik dan 4 importir kosmetik. Data kuantitatif
persepsi masyarakat terhadap kosmetik halal diperoleh dengan menggunakan
kuesioner yang telah divalidasi. Pemerintah memandang bahwa secara umum
peraturan dan sistem yang diperlukan untuk menangani kewajiban halal telah
selesai. Hanya beberapa peraturan yang saat ini sedang dalam pembahasan terkait
kosmetik impor. Dari sisi pelaku usaha, importir kosmetik masih terkendala dalam
melakukan sertifikasi halal karena peraturan yang belum lengkap, dan insentif yang
dirasakan masih lemah untuk mengejar sertifikasi halal. Sementara itu, industri
kosmetik lebih siap karena regulasi yang dibutuhkan sudah tersedia secara lengkap.
Dari sisi konsumen, hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan konsumen
memiliki persepsi yang positif terhadap kosmetik halal. Sebanyak 46,58%
responden sangat setuju dan 44,30% responden setuju bahwa kosmetik non luxury
perlu bersertifikat halal. Sebanyak 45,60% responden sangat setuju dan 45,28%
responden setuju bahwa kosmetik luxury perlu bersertifikat halal. Studi ini
menemukan bahwa peraturan kosmetik halal sudah siap tetapi masih ada beberapa
aspek yang kurang untuk mendukung sertifikasi halal kosmetik impor. Persepsi
masyarakat yang positif terhadap sertifikasi halal, dapat menjadi insentif bagi
pelaku usaha, termasuk importir untuk melakukan sertifikasi halal.