digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

ABSTRAK Erick Hutrindo
PUBLIC Open In Flip Book Alice Diniarti

COVER ERICK HUTRINDO
PUBLIC Open In Flip Book Alice Diniarti

BAB1 ERICK HUTRINDO
PUBLIC Open In Flip Book Alice Diniarti

BAB2 ERICK HUTRINDO
PUBLIC Open In Flip Book Alice Diniarti

BAB3 ERICK HUTRINDO
PUBLIC Open In Flip Book Alice Diniarti

BAB4 ERICK HUTRINDO
PUBLIC Open In Flip Book Alice Diniarti

BAB5 ERICK HUTRINDO
PUBLIC Open In Flip Book Alice Diniarti

BAB6 ERICK HUTRINDO
PUBLIC Open In Flip Book Alice Diniarti

PUSTAKA ERICK HUTRINDO
PUBLIC Open In Flip Book Alice Diniarti

Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) merupakan dokumen pedoman pengelolaan energi jangka panjang yang bertujuan sebagai pedoman untuk memberi arah pengelolaan energi nasional guna mewujudkan kemandirian energi dan ketahanan energi untuk mendukung pembangunan nasional berkelanjutan. Selanjutnya melalui Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, pemerintah mempertegas langkah-langkah untuk mewujudkan pembangunan nasional berkelanjutan. Tahun 2016 Pemerintah meratifikasi Kesepakatan Paris melalui Undang-Undang Nomor 16, yang isinya Indonesia menyetujui terlibat dalam konvensi internasional yang berusaha menurunkan suhu rata-rata global < 2°C di atas temperatur bumi saat era pra-industri, pada paruh kedua abad ini, dengan menurunkan emisi gas gumah kaca (GRK) global yang salah satunya bersumber dari sektor energi. Target dari ketiga tujuan peraturan ini harus dapat diwujudkan melalui suatu sistem pengelolaan energi (SPE) yang terencana dengan baik. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab kondisi tersebut melalui pemodelan yang merepresentasikan SPE Nasional untuk mencapai: (i) ketahanan energi, (ii) kemandirian energi, (iii) tujuan pembangunan berkelanjutan dan (iv) Kesepakatan Paris secara simultan dan seimbang berbasis dinamika sistem. Pendekatan induktif digunakan untuk mengidentifikasi dan menentukan indikator dasar dari keempat tujuan, yang terdiri dari: 6 ketahanan energi, 1 kemandirian energi, 3 tujuan pembangunan berkelanjutan dan 1 Kesepakatan Paris. Namun ada 1 indikator dasar yang identik pada ketahanan energi, tujuan pembangunan berkelanjutan dan Kesepakatan Paris, sehingga secara keseluruhan diperoleh 9 indikator dasar ketercapaian tujuan SPE. Selanjutnya indikator dasar dikelompokkan ke dalam aspek: ekonomi, sosial dan lingkungan. Enam indikator dasar selalu masuk dalam ketiga aspek tersebut, sedangkan 3 indikator dasar lainnya tersebar pada aspek: ekonomi, sosial dan lingkungan. Variabel utama dari tujuan SPE diturunkan dari indikator dasar. Tahun 2019 ditetapkan sebagai tahun dasar analisis. PDB per kapita yang merupakan variabel utama dari aspek ekonomi, pada dokumen Visi Indonesia 2045 ditargetkan sebesar 23.199 USD atau meningkat 6 kali lebih besar dari tahun dasar. Emisi GRK sektor energi sebagai variabel utama aspek lingkungan, pada dokumen long-term strategy net zero emissions (LTS NZE) ditargetkan lebih rendah dari 87 MMT CO2-eq di tahun 2060, atau turun sebesar 87,5%. Sedangkan lapangan pekerjaan pada sektor energi sebagai variabel utama dari aspek sosial diharapkan akan terus meningkat. Target-target ini akan dipenuhi oleh SPE melalui penyediaan energi primer sebesar 1.000 MTOE pada 2050, dimana konsumsi listrik ditargetkan sebesar 7.000 kWh/kapita. Emisi GRK ditetapkan sebagai milestone tahun akhir analisis, sekaligus sebagai batasan (constraint) dari target tujuan SPE. Analisis kuantitatif dilakukan terhadap constraint untuk menetapkan strategi dan skenario utama SPE. Puncak emisi GRK ditergetkan terjadi pada 2030 sebesar 1.164 MMT CO2-eq, yang berasal dari pembakaran 370 MTOE energi fosil (74% dari total penyediaan energi primer_PEP). 44% dari energi fosil digunakan sebagai bahan bakar pembangkit listrik. Selanjutnya emisi secara bertahap akan menurun menjadi 87 MMT CO2-eq pada 2060, seiring dengan penurunan pembakaran energi fosil hingga tersisa 28 MTOE (2% dari total penyediaan energi primer). Total emisi GRK periode 2030 – 2060 yang harus diturunkan adalah 15.466 MMT CO2-eq. Dengan asumsi sejak 2030 tidak ada lagi penambahan kapasitas pembangkit fosil baru, maka penghentian operasional pembangkit fosil yang telah memasuki usia ekonomisnya (normal retirement) hanya mampu menurunkan emisi GRK sebesar 8.378 MMT CO2-eq (54,2%). Penghentian pengoperasian lebih awal pembangkit fosil (early retirement) 74 GW secara bertahap dari tahun 2035–2044 mampu menurunkan emisi 10.430 MMT CO2-eq (67,4%). Baik normal ataupun early retirement masih belum mampu mencapai target penurunan emisi GRK. Untuk itu penggunaan teknologi penyerap karbon sejak 2044 menjadi alternatif menangkap sisa emisi GRK yang ada, khususnya emisi dari non pembangkit. Penurunan penyediaan energi fosil melalui efisiensi berpotensi untuk mengurangi emisi GRK. Intensitas energi sebagai salah satu parameter efisiensi ditargetkan menurun sebesar 2% per tahun. Pada tahun 2055, Indonesia akan memiliki intensitas energi yang sama dengan Jepang dan Jerman saat ini, yaitu 103 TOE/Juta Rupiah. Untuk itu SPE Indonesia harus efisien, dimana elektrifikasi sisi permintaan energi merupakan salah satu strategi untuk meningkatkan efisiensi sekaligus mempermudah mengelola emisi GRK. Mulai 2030 penyediaan energi baru terbarukan (EB)T akan meningkat tajam karena untuk memenuhi tambahan permintaan energi sekaligus menggantikan penyediaan energi fosil yang mulai dikurangi. Pertumbuhan rata-rata penyediaan EBT mencapai 4,5% per tahun. Selanjutnya dipilih 2 skenario berdasarkan analisis terhadap batasan/constraint, yaitu: (i) normal retirement dan (ii) early retirement. Skenario normal retirement melalui strategi: normal retirement pembangkit fosil, pengembangan pembangkit EBT, penggunaan carbon capture storage/carbon capture utilization storage CCS/CCUS) dan elektrifikasi sisi permintaan energi. Skenario early retirement melalui strategi: early retirement pembangkit fosil, pengembangan pembangkit EBT, penggunaan CCS/CCUS dan elektrifikasi sisi permintaan energi. Model yang dikembangkan berbasis dinamika sistem, yang meliputi: SPE dan tujuan SPE. SPE dibagi menjadi sub-model: permintaan energi dan penyediaan energi. Tujuan SPE dikelompokkan menjadi sub-model: ekonomi, sosial dan lingkungan. Variabel utama dari setiap sub-model tujuan SPE memiliki hubungan umpan balik dengan SPE dan antar variabel utama tujuan SPE berinteraksi umpan balik melalui SPE. Validasi model menggunakan metode mean absolute percentage error (MAPE) menunjukkan angka penyimpangan < 5%, sedangkan perilaku output menyerupai kondisi nyata, sehingga model dinyatakan valid. Selanjutnya skenario terpilih disimulasikan pada model untuk menganalisis ketercapaian keempat tujuan SPE melalui 9 indikator dasar yang telah ditetapkan