Disertasi ini menyajikan analisis komprehensif mengenai jejak air pada dua daerah
aliran sungai (DAS) yang penting, yaitu Daerah Aliran Sungai Citarum di Indonesia
dan Daerah Aliran Sungai Nam Ngum di Laos. Penelitian ini menggunakan konsep
jejak air, yang mencakup total volume air yang digunakan dalam produksi pertanian
serta air yang diperlukan untuk mengencerkan pupuk kimia, sebagai ukuran umum
konsumsi air tawar. Kajian ini menganalisis dinamika penggunaan air melalui tiga
komponen utama jejak air, yaitu jejak air hijau, biru, dan abu-abu, khususnya pada
komoditas utama seperti padi, jagung, tebu, singkong, dan kedelai.
Dalam pertanian lahan tadah hujan, pemahaman mengenai penggunaan air hijau
menjadi sangat penting. Jejak air hijau merujuk pada volume air hujan yang diserap
oleh tanaman, yang berperan penting dalam menjaga keberlanjutan ekosistem,
mempertahankan sifat tanah, dan mendukung efisiensi penggunaan air. Jejak air
biru merepresentasikan volume air permukaan dan air tanah yang berasal dari
sungai, danau, dan akuifer, termasuk air yang digunakan untuk keperluan irigasi.
Pengendalian jejak air biru sangat penting untuk melindungi ekosistem air tawar,
mencegah degradasi habitat, serta menjamin ketersediaan air bagi masyarakat lokal
dan generasi mendatang.
Penelitian ini menekankan pentingnya jejak air abu-abu, yang didefinisikan sebagai
volume air tawar yang diperlukan untuk mengasimilasi polutan—terutama pestisida
dan pupuk—yang dihasilkan dari praktik pertanian agar memenuhi standar kualitas
air tertentu. Metode perhitungan jejak air abu-abu dapat berbeda dari komponen
hijau dan biru, namun keberadaannya sangat penting. Analisis jejak air abu-abu
menyoroti urgensi pengendalian pencemaran serta menjelaskan dampak limpasan
pupuk terhadap lingkungan. Komponen ini berperan penting dalam perumusan
kebijakan yang bertujuan meningkatkan kualitas air, meminimalkan kerusakan
lingkungan, dan melindungi kesehatan masyarakat, sehingga mendukung tujuan
utama pengelolaan air pertanian yang berkelanjutan.
Penelitian ini melakukan analisis dinamika kompleks terhadap jejak air di DAS
Citarum dan DAS Nam Ngum dengan mengombinasikan persamaan hidro-fisika
(pendekatan neraca air) dan teknik pemodelan hidrologi lanjutan menggunakan
model SWAT (Soil and Water Assessment Tool) untuk mengkuantifikasi dan
membandingkan jejak air hijau, biru, dan abu-abu yang terkait dengan komoditas
pertanian utama. Analisis dinamika ini mengintegrasikan dimensi temporal dan
spasial, sehingga mampu menangkap variasi pola penggunaan air sebagai respons
terhadap perubahan iklim, penggunaan lahan, dan input pertanian dari waktu ke
waktu.
Dengan mengintegrasikan data iklim, peta penggunaan lahan, karakteristik tanah,
dan parameter hidrologi, model mensimulasikan keluaran utama seperti
evapotranspirasi, limpasan permukaan, dan pengisian ulang air tanah. Persamaan
Penman–Monteith digunakan dalam model SWAT untuk mengestimasi
evapotranspirasi referensi, yang mencerminkan keseimbangan energi dan proses aerodinamik secara rinci. Dinamika air tanah dianalisis lebih lanjut menggunakan
Hukum Darcy untuk memodelkan aliran bawah permukaan dalam akuifer. Analisis
ini juga mencakup jejak air abu-abu, yang dihitung menggunakan pemodelan beban
polutan berdasarkan prinsip neraca massa dan ambang batas konsentrasi polutan.
Komponen ini menggambarkan volume air tawar yang diperlukan untuk
mengencerkan polutan agro-kimia agar memenuhi standar kualitas air, sehingga
menambahkan dimensi lingkungan yang penting dalam analisis jejak air. Melalui
pendekatan sistem terpadu ini, penelitian memberikan pemahaman mendalam
mengenai dinamika penggunaan air serta keterkaitan antara aktivitas manusia,
proses alami, dan keberlanjutan sumber daya air tawar di kedua DAS.
Metodologi penelitian mencakup pengumpulan data lapangan secara ekstensif,
perumusan neraca air, pemodelan hidrologi, dan analisis statistik, yang
memungkinkan kajian mendalam terhadap fluktuasi temporal dan variasi spasial
jejak air di berbagai provinsi dalam masing-masing DAS. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa jejak air (WF) di Daerah Aliran Sungai Citarum (CTRRB)
secara umum lebih tinggi dibandingkan dengan Daerah Aliran Sungai Nam Ngum
(NNRB) untuk seluruh komoditas yang dianalisis.
Untuk tanaman padi, rata-rata jejak air hijau, biru, abu-abu, dan total di CTRRB
masing-masing berkisar antara 3,0–3,5 m3/kg, 1,0–1,3 m3/kg, 0,30–0,40 m3/kg, dan
4,13–5,36 m3/kg. Sebaliknya, NNRB menunjukkan nilai yang lebih rendah, yaitu
1,5–2,0 m3/kg (jejak air hijau), 0,8–1,0 m3/kg (jejak air biru), 0,20–0,28 m3/kg (jejak
air abu-abu), dan 2,49–3,54 m3/kg (jejak air total). Hal ini menunjukkan bahwa
budidaya padi di CTRRB mengonsumsi air yang lebih besar—baik dari curah hujan
maupun irigasi—serta menghasilkan tingkat pencemaran air yang lebih tinggi, yang
mengindikasikan efisiensi penggunaan air yang lebih rendah dan beban lingkungan
yang lebih besar.
Untuk produksi jagung, CTRRB memiliki jejak air sebesar 2,0–3,0 m3/kg (hijau),
0,8–1,2 m3/kg (biru), 0,20–0,30 m3/kg (abu-abu), dan 2,78–4,70 m3/kg (total).
Sebaliknya, NNRB menunjukkan nilai yang lebih rendah, yaitu 1,1–1,4 m3/kg
(hijau), 0,7–0,9 m3/kg (biru), 0,20–0,28 m3/kg (abu-abu), dan 2,16–2,81 m3/kg
(total). Hal ini menunjukkan bahwa produksi jagung di NNRB lebih efisien dalam
penggunaan air dan lebih berkelanjutan secara lingkungan, khususnya dalam
pemanfaatan air hujan dan kebutuhan air total.
Pada komoditas tebu, CTRRB memiliki jejak air hijau, biru, abu-abu, dan total
masing-masing sebesar 0,17–0,20 m3/kg, 0,023–0,037 m3/kg, 0,015–0,017 m3/kg,
dan 0,21–0,25 m3/kg. Sementara itu, NNRB menunjukkan jejak air hijau yang lebih
rendah (0,124–0,13 m3/kg), jejak air biru yang lebih tinggi (0,046–0,048 m3/kg),
rentang jejak air abu-abu yang lebih luas (0,016–0,030 m3/kg), serta jejak air total
sebesar 0,19–0,21 m3/kg. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun produksi tebu di
NNRB menggunakan lebih banyak air biru dan memiliki risiko pencemaran yang
lebih tinggi, ketergantungannya terhadap air hujan lebih rendah, sehingga
menghasilkan jejak air total yang sebanding atau sedikit lebih rendah dibandingkan
CTRRB.
Untuk singkong, CTRRB menunjukkan jejak air sebesar 0,98–1,43 m3/kg (hijau),
0,35–0,51 m3/kg (biru), 0,09–0,14 m3/kg (abu-abu), dan 1,42–2,08 m3/kg (total),
sedangkan NNRB menunjukkan 0,54–1,38 m3/kg (hijau), 0,32–0,82 m3/kg (biru),
0,11–0,20 m3/kg (abu-abu), dan 0,98–2,39 m3/kg (total). Hal ini menunjukkan
bahwa produksi singkong di NNRB memiliki variabilitas yang lebih tinggi, namun berpotensi mencapai tingkat penggunaan air yang lebih rendah dibandingkan
CTRRB, meskipun dengan kontribusi jejak air abu-abu yang sedikit lebih besar
yang mengindikasikan potensi pencemaran.
Untuk kedelai, CTRRB memiliki jejak air sebesar 1,32–1,55 m3/kg (hijau), 0,60–
0,70 m3/kg (biru), 0,09–0,14 m3/kg (abu-abu), dan 2,02–2,39 m3/kg (total).
Sebaliknya, NNRB menunjukkan nilai yang lebih rendah untuk seluruh komponen,
yaitu 0,83–1,43 m3/kg (hijau), 0,38–0,65 m3/kg (biru), 0,07–0,13 m3/kg (abu-abu),
dan 1,29–2,21 m3/kg (total). Hal ini menunjukkan bahwa praktik budidaya kedelai
di NNRB lebih efisien dalam penggunaan air dan lebih ramah lingkungan, terutama
dalam hal pengurangan irigasi dan pencemaran.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa praktik pertanian di Daerah Aliran Sungai
Citarum secara umum memberikan tekanan yang lebih besar terhadap sumber daya
air, baik dari segi kuantitas maupun kualitas, dibandingkan dengan Daerah Aliran
Sungai Nam Ngum. Dari perspektif dinamika sistem, jejak air hijau dan biru yang
lebih tinggi di CTRRB mencerminkan adanya ketidakefisienan dalam sistem yang
saling terhubung antara pemanfaatan curah hujan, infrastruktur irigasi, kebutuhan
air tanaman, dan praktik pengelolaan lahan. Ketidakefisienan ini diperkuat seiring
waktu melalui mekanisme umpan balik, di mana pengambilan air yang berlebihan
menyebabkan penurunan ketersediaan dan kualitas air, yang pada akhirnya
menurunkan produktivitas pertanian dan mendorong kebutuhan irigasi yang lebih
besar. Demikian pula, jejak air abu-abu yang lebih tinggi menunjukkan adanya
umpan balik pencemaran yang lebih kuat, di mana peningkatan penggunaan bahan
kimia pertanian menyebabkan limpasan yang lebih besar dan degradasi kualitas air,
yang berpotensi memicu pembatasan regulasi atau penurunan kondisi ekologi.
Sebaliknya, NNRB menunjukkan dinamika penggunaan air yang lebih seimbang
dan tangguh, dengan jejak air total yang lebih rendah serta dampak lingkungan yang
lebih kecil, yang mencerminkan interaksi yang lebih stabil antara pola curah hujan,
input pertanian, dan kualitas air. Temuan ini menegaskan pentingnya memahami
penggunaan air pertanian sebagai suatu sistem yang dinamis dan saling bergantung,
di mana perubahan pada satu komponen (misalnya penggunaan pupuk atau
kebijakan irigasi) dapat menimbulkan dampak berantai pada keseluruhan sistem
DAS. Oleh karena itu, penerapan kerangka dinamika sistem menjadi sangat penting
tidak hanya untuk mengevaluasi efisiensi penggunaan air saat ini, tetapi juga untuk
mensimulasikan skenario jangka panjang, mendukung tata kelola air yang adaptif,
serta merancang kebijakan terpadu guna meningkatkan keberlanjutan di kedua
DAS.
Perpustakaan Digital ITB