digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Disertasi ini menyajikan analisis komprehensif mengenai jejak air pada dua daerah aliran sungai (DAS) yang penting, yaitu Daerah Aliran Sungai Citarum di Indonesia dan Daerah Aliran Sungai Nam Ngum di Laos. Penelitian ini menggunakan konsep jejak air, yang mencakup total volume air yang digunakan dalam produksi pertanian serta air yang diperlukan untuk mengencerkan pupuk kimia, sebagai ukuran umum konsumsi air tawar. Kajian ini menganalisis dinamika penggunaan air melalui tiga komponen utama jejak air, yaitu jejak air hijau, biru, dan abu-abu, khususnya pada komoditas utama seperti padi, jagung, tebu, singkong, dan kedelai. Dalam pertanian lahan tadah hujan, pemahaman mengenai penggunaan air hijau menjadi sangat penting. Jejak air hijau merujuk pada volume air hujan yang diserap oleh tanaman, yang berperan penting dalam menjaga keberlanjutan ekosistem, mempertahankan sifat tanah, dan mendukung efisiensi penggunaan air. Jejak air biru merepresentasikan volume air permukaan dan air tanah yang berasal dari sungai, danau, dan akuifer, termasuk air yang digunakan untuk keperluan irigasi. Pengendalian jejak air biru sangat penting untuk melindungi ekosistem air tawar, mencegah degradasi habitat, serta menjamin ketersediaan air bagi masyarakat lokal dan generasi mendatang. Penelitian ini menekankan pentingnya jejak air abu-abu, yang didefinisikan sebagai volume air tawar yang diperlukan untuk mengasimilasi polutan—terutama pestisida dan pupuk—yang dihasilkan dari praktik pertanian agar memenuhi standar kualitas air tertentu. Metode perhitungan jejak air abu-abu dapat berbeda dari komponen hijau dan biru, namun keberadaannya sangat penting. Analisis jejak air abu-abu menyoroti urgensi pengendalian pencemaran serta menjelaskan dampak limpasan pupuk terhadap lingkungan. Komponen ini berperan penting dalam perumusan kebijakan yang bertujuan meningkatkan kualitas air, meminimalkan kerusakan lingkungan, dan melindungi kesehatan masyarakat, sehingga mendukung tujuan utama pengelolaan air pertanian yang berkelanjutan. Penelitian ini melakukan analisis dinamika kompleks terhadap jejak air di DAS Citarum dan DAS Nam Ngum dengan mengombinasikan persamaan hidro-fisika (pendekatan neraca air) dan teknik pemodelan hidrologi lanjutan menggunakan model SWAT (Soil and Water Assessment Tool) untuk mengkuantifikasi dan membandingkan jejak air hijau, biru, dan abu-abu yang terkait dengan komoditas pertanian utama. Analisis dinamika ini mengintegrasikan dimensi temporal dan spasial, sehingga mampu menangkap variasi pola penggunaan air sebagai respons terhadap perubahan iklim, penggunaan lahan, dan input pertanian dari waktu ke waktu. Dengan mengintegrasikan data iklim, peta penggunaan lahan, karakteristik tanah, dan parameter hidrologi, model mensimulasikan keluaran utama seperti evapotranspirasi, limpasan permukaan, dan pengisian ulang air tanah. Persamaan Penman–Monteith digunakan dalam model SWAT untuk mengestimasi evapotranspirasi referensi, yang mencerminkan keseimbangan energi dan proses aerodinamik secara rinci. Dinamika air tanah dianalisis lebih lanjut menggunakan Hukum Darcy untuk memodelkan aliran bawah permukaan dalam akuifer. Analisis ini juga mencakup jejak air abu-abu, yang dihitung menggunakan pemodelan beban polutan berdasarkan prinsip neraca massa dan ambang batas konsentrasi polutan. Komponen ini menggambarkan volume air tawar yang diperlukan untuk mengencerkan polutan agro-kimia agar memenuhi standar kualitas air, sehingga menambahkan dimensi lingkungan yang penting dalam analisis jejak air. Melalui pendekatan sistem terpadu ini, penelitian memberikan pemahaman mendalam mengenai dinamika penggunaan air serta keterkaitan antara aktivitas manusia, proses alami, dan keberlanjutan sumber daya air tawar di kedua DAS. Metodologi penelitian mencakup pengumpulan data lapangan secara ekstensif, perumusan neraca air, pemodelan hidrologi, dan analisis statistik, yang memungkinkan kajian mendalam terhadap fluktuasi temporal dan variasi spasial jejak air di berbagai provinsi dalam masing-masing DAS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jejak air (WF) di Daerah Aliran Sungai Citarum (CTRRB) secara umum lebih tinggi dibandingkan dengan Daerah Aliran Sungai Nam Ngum (NNRB) untuk seluruh komoditas yang dianalisis. Untuk tanaman padi, rata-rata jejak air hijau, biru, abu-abu, dan total di CTRRB masing-masing berkisar antara 3,0–3,5 m3/kg, 1,0–1,3 m3/kg, 0,30–0,40 m3/kg, dan 4,13–5,36 m3/kg. Sebaliknya, NNRB menunjukkan nilai yang lebih rendah, yaitu 1,5–2,0 m3/kg (jejak air hijau), 0,8–1,0 m3/kg (jejak air biru), 0,20–0,28 m3/kg (jejak air abu-abu), dan 2,49–3,54 m3/kg (jejak air total). Hal ini menunjukkan bahwa budidaya padi di CTRRB mengonsumsi air yang lebih besar—baik dari curah hujan maupun irigasi—serta menghasilkan tingkat pencemaran air yang lebih tinggi, yang mengindikasikan efisiensi penggunaan air yang lebih rendah dan beban lingkungan yang lebih besar. Untuk produksi jagung, CTRRB memiliki jejak air sebesar 2,0–3,0 m3/kg (hijau), 0,8–1,2 m3/kg (biru), 0,20–0,30 m3/kg (abu-abu), dan 2,78–4,70 m3/kg (total). Sebaliknya, NNRB menunjukkan nilai yang lebih rendah, yaitu 1,1–1,4 m3/kg (hijau), 0,7–0,9 m3/kg (biru), 0,20–0,28 m3/kg (abu-abu), dan 2,16–2,81 m3/kg (total). Hal ini menunjukkan bahwa produksi jagung di NNRB lebih efisien dalam penggunaan air dan lebih berkelanjutan secara lingkungan, khususnya dalam pemanfaatan air hujan dan kebutuhan air total. Pada komoditas tebu, CTRRB memiliki jejak air hijau, biru, abu-abu, dan total masing-masing sebesar 0,17–0,20 m3/kg, 0,023–0,037 m3/kg, 0,015–0,017 m3/kg, dan 0,21–0,25 m3/kg. Sementara itu, NNRB menunjukkan jejak air hijau yang lebih rendah (0,124–0,13 m3/kg), jejak air biru yang lebih tinggi (0,046–0,048 m3/kg), rentang jejak air abu-abu yang lebih luas (0,016–0,030 m3/kg), serta jejak air total sebesar 0,19–0,21 m3/kg. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun produksi tebu di NNRB menggunakan lebih banyak air biru dan memiliki risiko pencemaran yang lebih tinggi, ketergantungannya terhadap air hujan lebih rendah, sehingga menghasilkan jejak air total yang sebanding atau sedikit lebih rendah dibandingkan CTRRB. Untuk singkong, CTRRB menunjukkan jejak air sebesar 0,98–1,43 m3/kg (hijau), 0,35–0,51 m3/kg (biru), 0,09–0,14 m3/kg (abu-abu), dan 1,42–2,08 m3/kg (total), sedangkan NNRB menunjukkan 0,54–1,38 m3/kg (hijau), 0,32–0,82 m3/kg (biru), 0,11–0,20 m3/kg (abu-abu), dan 0,98–2,39 m3/kg (total). Hal ini menunjukkan bahwa produksi singkong di NNRB memiliki variabilitas yang lebih tinggi, namun berpotensi mencapai tingkat penggunaan air yang lebih rendah dibandingkan CTRRB, meskipun dengan kontribusi jejak air abu-abu yang sedikit lebih besar yang mengindikasikan potensi pencemaran. Untuk kedelai, CTRRB memiliki jejak air sebesar 1,32–1,55 m3/kg (hijau), 0,60– 0,70 m3/kg (biru), 0,09–0,14 m3/kg (abu-abu), dan 2,02–2,39 m3/kg (total). Sebaliknya, NNRB menunjukkan nilai yang lebih rendah untuk seluruh komponen, yaitu 0,83–1,43 m3/kg (hijau), 0,38–0,65 m3/kg (biru), 0,07–0,13 m3/kg (abu-abu), dan 1,29–2,21 m3/kg (total). Hal ini menunjukkan bahwa praktik budidaya kedelai di NNRB lebih efisien dalam penggunaan air dan lebih ramah lingkungan, terutama dalam hal pengurangan irigasi dan pencemaran. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa praktik pertanian di Daerah Aliran Sungai Citarum secara umum memberikan tekanan yang lebih besar terhadap sumber daya air, baik dari segi kuantitas maupun kualitas, dibandingkan dengan Daerah Aliran Sungai Nam Ngum. Dari perspektif dinamika sistem, jejak air hijau dan biru yang lebih tinggi di CTRRB mencerminkan adanya ketidakefisienan dalam sistem yang saling terhubung antara pemanfaatan curah hujan, infrastruktur irigasi, kebutuhan air tanaman, dan praktik pengelolaan lahan. Ketidakefisienan ini diperkuat seiring waktu melalui mekanisme umpan balik, di mana pengambilan air yang berlebihan menyebabkan penurunan ketersediaan dan kualitas air, yang pada akhirnya menurunkan produktivitas pertanian dan mendorong kebutuhan irigasi yang lebih besar. Demikian pula, jejak air abu-abu yang lebih tinggi menunjukkan adanya umpan balik pencemaran yang lebih kuat, di mana peningkatan penggunaan bahan kimia pertanian menyebabkan limpasan yang lebih besar dan degradasi kualitas air, yang berpotensi memicu pembatasan regulasi atau penurunan kondisi ekologi. Sebaliknya, NNRB menunjukkan dinamika penggunaan air yang lebih seimbang dan tangguh, dengan jejak air total yang lebih rendah serta dampak lingkungan yang lebih kecil, yang mencerminkan interaksi yang lebih stabil antara pola curah hujan, input pertanian, dan kualitas air. Temuan ini menegaskan pentingnya memahami penggunaan air pertanian sebagai suatu sistem yang dinamis dan saling bergantung, di mana perubahan pada satu komponen (misalnya penggunaan pupuk atau kebijakan irigasi) dapat menimbulkan dampak berantai pada keseluruhan sistem DAS. Oleh karena itu, penerapan kerangka dinamika sistem menjadi sangat penting tidak hanya untuk mengevaluasi efisiensi penggunaan air saat ini, tetapi juga untuk mensimulasikan skenario jangka panjang, mendukung tata kelola air yang adaptif, serta merancang kebijakan terpadu guna meningkatkan keberlanjutan di kedua DAS.