digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Pembangunan sebuah jalan tol membutuhkan pertimbangan dari berbagai sisi, termasuk dari sisi investasi itu sendiri. Dalam investasi tersebut ada hal yang tidak dapat kita ketahui, yaitu risiko, yang memiliki tingkat ketidakpastian bervariasi. Analisis risiko dapat dijadikan sebagai alat antisipasi kerugian yang dapat terjadi setiap saat. Dari latar belakang tersebut, dilakukan analisis risiko investasi pada jalan tol Solo – Ngawi untuk mengetahui besar risiko yang akan terjadi pada tahap pra konstruksi, konstruksi dan pasca konstruksi. Dalam penelitian ini analisis risiko pengusahaan jalan tol hanya didasarkan pada persepsi dari hasil kuisioner yang ditujukan kepada responden. Kuisioner tersebut bertujuan untuk mengetahui pihak-pihak yang menangani risiko, nilai probabilitas terjadinya risiko dan besaran dampak jika suatu risiko tersebut terjadi. Hasil dari analisis menunjukkan risiko dengan probabilitas tertinggi adalah risiko ketersediaan lahan (tahap pra konstruksi), risiko kondisi cuaca (tahap konstruksi) dan risiko keakuratan estimasi volume lalu lintas (tahap pasca konstruksi) dengan dampak risiko tertinggi adalah risiko ketersediaan lahan (tahap pra konstruksi), risiko potensi revolusi negara (tahap konstruksi dan pasca konstruksi). Besaran risiko yang terjadi pada pengusahaan jalan tol Solo – Ngawi sebesar Rp 2.640.119.000.000,- atau 23,28% dari biaya investasi. Pada biaya operasional di tahun pertama (2018) besaran risikonya sebesar Rp 17.367.000.000,- atau 8,16% dari biaya operasional, sedangkan pada pemasukkan atau pendapatan yang berasal dari lalu lintas besaran risikonya sebesar Rp 37.506.000.000,- atau 12,34% dari total pendapatan dari lalu lintas yang melewati jalan Tol Solo - Ngawi. Kategorisasi risiko dan besaran risiko yang mempengaruhi investasi diharapkan dapat membantu stakeholder(s) untuk melakukan evaluasi dan jenis penanganan risiko pengusahaan jalan tol. Dari hasil analisis risiko tersebut dapat dikatakan bahwa tingkat risiko masih risiko sedang, sehingga perlu adanya kerjasama pertanggungan risiko dengan Badan Asuransi dan/atau PT. Penjaminan Infrastruktur Indonesia agar tingkat risiko dapat diturunkan menjadi risiko rendah.