digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

ABSTRAK Regina Katelia
PUBLIC Alice Diniarti

Hipertensi adalah kelainan berupa tekanan darah yang tinggi (?140/90 mmHg) yang terjadi secara konstan (Oparil dkk., 2018 dan JNC 7). Hipertensi adalah penyebab penting dari berbagai morbiditas mematikan seperti penyakit kardiovaskuler, penyakit ginjal kronis, serta kerusakan kognitif dan kematian di seluruh dunia (Oparil dkk., 2018). Secara global, 1,13 miliar dari 7,8 miliar penduduk dunia mengidap hipertensi (WHO, 2021). Di Indonesia sendiri, kasus hipertensi terdapat sebanyak 63,3 juta dari 267,7 juta penduduknya (Riskesdas, 2018). Kematian yang disebabkan oleh baik hipertensi maupun penyakit-penyakit yang dicetus olehnya pun dapat mencapai belasan hingga puluhan juta kasus di seluruh dunia setiap tahunnya (JAMA Network, 2016 dan 2018). Tingginya angka kematian dan penderita hipertensi baik di Indonesia maupun seluruh dunia membuat pengobatan hipertensi menjadi sangat penting untuk meningkatkan angka harapan hidup Indonesia dan seluruh dunia. Salah satu bentuk pengobatan hipertensi adalah melalui konsumsi obat antihipertensi secara oral. Berbagai kelas obat antihipertensi telah banyak beredar di pasaran. Beberapa di antaranya, yakni thiazide diuretics dan angiotensin converting enzyme (ACE) inhibitors, dikategorikan sebagai obat antihipertensi lini utama (first-line) (Oparil dkk., 2018). Dari banyaknya obat-obat dari masing-masing kelas ini, yang telah digunakan secara luas di masyarakat adalah chlorthalidone (dari kelas thiazid diuretics) dan lisinopril (dari kelas ACE inhibitors). Meskipun obat-obat ini telah dapat mengobati hipertensi, masih diperlukan kandidat-kandidat obat antihipertensi baru yang dapat mengobati hipertensi secara lebih optimal. Salah satu senyawa yang potensial adalah xanthone. Xanthone adalah senyawa yang banyak di temukan di alam, khususnya pada beberapa spesies tumbuhan, fungi, dan lumut. Senyawa ini memiliki banyak turunan dan beberapa di antaranya terbukti memiliki sifat kardioprotektif dan antihipertensif salah satunya karena memiliki inhibisi yang baik pada protein regulator hipertensi seperti ACE dan CA II (Jiang dkk., 2004, Chen dkk., 1992, dan Saleem dkk., 2019). Pada penelitian ini, diselidiki potensi 412 senyawa turunan xanthone dari referensi Vieira dan Kijjoa (2005) sebagai inhibitor antihipertensi yang dapat dikonsumsi secara oral. Analisis potensi ini dilakukan secara bioinformatika dengan metode penambatan molekuler dan simulasi dinamika molekuler dengan menyaring senyawa berdasarkan parameter Lipinski’s Rule of Five sebelum memasuki tahap penambatan molekuler dan nilai toksisitas oral rat LD50 sebelum memasuki tahap simulasi dinamika molekuler. Mengingat chlorthalidone dan lisinopril merupakan obat antihipertensi dari kelas first-line yang telah digunakan secara luas, kedua senyawa tersebut menjadi senyawa kontrol (ligan alami) pada penelitian ini. Sedangkan protein targetnya adalah protein target dari kedua senyawa tersebut, yakni carbonic anhydrase (CA) II dan ACE. Dari penelitian ini, didapati globulixanthone c memiliki kekuatan ikatan (binding affinity) (????9,5 kkal/mol) lebih negatif dari chlorthalidone (????8,3 kkal/mol) dan gerontoxanthone a memiliki nilai binding affinity (????10 kkal/mol) lebih rendah dari lisinopril (????7,8 kkal/mol) menurut hasil penambatan molekuler dan keduanya berikatan dengan residuresidu inhibisi protein targetnya secara stabil, yakni pada Asn62, Glu92, Val121, dan Val143 (untuk globulixanthone s pada CA II) dan Gln281 dan Tyr523 (untuk gerontoxanthone a pada ACE), menurut hasil simulasi dinamika molekuler. Lebih rendahnya binding affinity kedua senyawa tersebut dan stabilnya pengikatan senyawa tersebut dengan residu inhibisi pada protein target tempat berikatan ligan alaminya membuat kedua senyawa tersebut dapat dijadikan sebagai kandidat obat antihipertensi yang potensial untuk diteliti lebih lanjut.