Jumlah bencana alam di Indonesia meningkat signifikan dari tahun 2010 hingga tahun 2020 berdasarkan
data BNPB. Bencana alam menimbulkan korban jiwa, korban luka, kerusakan infrastruktur, dan
berdampak pada banyak kehidupan secara signifikan. Di sini peran tanggap darurat sangat penting
untuk memulihkan kehidupan para korban. Tanggap darurat merupakan bagian dari proses
penanggulangan bencana yang melibatkan tahap persiapan dan mitigasi agar efektif dan efisien.
WVI adalah organisasi nirlaba yang juga melakukan tanggap darurat pada berbagai bencana alam di
Indonesia sejak tahun 1998. Tanggap darurat WVI untuk gempa Lombok pada bulan Juli - Agustus
2018 (proyek Lombok Earthquake Emergency Response) dipilih sebagai subjek penelitian ini.
Metodologi penelitian dimulai dari identifikasi masalah, didukung dengan analisis landasan teori dan
karakteristik industri, serta analisis akar permasalahan. Berdasarkan analisis tersebut, data kualitatif
akan dikumpulkan dari wawancara, diskusi kelompok terfokus, dan juga data sekunder terkait tanggap
darurat. Analisis data kualitatif tersebut pada akan menghasilkan usulan perbaikan untuk menyelesaikan
akar permasalahan, disertai dengan analisis manfaat biaya dan rencana implementasi.
WVI melakukan beberapa program dalam proyek LEER seperti program distribusi non-food item (NFI)
dan program water sanitation and hygiene (WASH). Berdasarkan wawancara dengan ketua tim pertama
proyek LEER, terjadi keterlambatan dalam pengadaan dan pengiriman bahan bantuan dalam program
darurat. Setelah dilakukan analisis terhadap akar permasalahan dengan Fish Bone Diagram,
keterlambatan tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, terutama karena kurangnya kompetensi
manusia dan ketidakcukupan data vendor. Kurangnya kompetensi manusia disebabkan oleh staf yang
ditugaskan di daerah bencana yang tidak memiliki kompetensi dan pengalaman logistik dan pengelolaan
gudang. Sedangkan untuk ketidakcukupan data vendor, walaupun WVI sudah memiliki database
vendor, database tersebut masih belum memiliki kategori vendor dan pemetaan wilayah, yang
memungkinkan staf di lokasi bencana untuk segera mendapatkan bahan bantuan yang dibutuhkan.
Dalam kasus LEER, WVI membeli material dari Jakarta dan Surabaya karena vendor lokal mengungsi,
yang menyebabkan lebih banyak waktu dan biaya yang harus dikeluarkan.
Sebagai solusi, peneliti mengusulkan pembuatan WVI Emergency Supplier Network (ESN) untuk
mengatasi kekurangan pada sistem pengadaan, yang memungkinkan WVI memiliki cakupan yang luas
atas alternative vendor dan material dari masing-masing provinsi di Indonesia. ESN akan membantu
WVI untuk segera menemukan vendor terdekat ke lokasi bencana, dan pada akhirnya membantu proses
pengadaan menjadi lebih cepat. Terkait kurangnya kompetensi tenaga kerja, maka pembuatan
Emergency Response Handbook merupakan solusi, karena memiliki pedoman tanggap darurat yang
lengkap dan mudah dipahami, khususnya fungsi logistik dan pengelolaan gudang. Kedua solusi yang
diusulkan diharapkan dapat memperkuat kesiapsiagaan penanggulangan bencana WVI saat ini, dan
pada akhirnya menghasilkan proses tanggap darurat yang lebih baik dan lebih cepat. Implementasi
kedua solusi yang diusulkan ini akan melalui beberapa tahapan pada Gantt chart, disertai dengan PIC
yang bertanggung jawab dan waktu yang dibutuhkan.
Perpustakaan Digital ITB