digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

ABSTRAK Annisa Kamil
PUBLIC yana mulyana

Staphylococcus aureus merupakan bakteri penyebab utama infeksi kulit dan jaringan lunak di dunia. Prevalensi infeksi kulit karena S.aureus tinggi terutama pada infeksi nosokomial. Pengobatan infeksi S.aureus semakin sulit karena adanya galur yang resisten, dikenal Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA). Penelitian sebelumnya melaporkan bahwa ekstrak etanol rimpang temu kunci memiliki aktivitas antibakteri terhadap S.aureus. Penelitian ini bertujuan mengkaji aktivitas antibakteri fraksi dari ekstrak etanol rimpang temu kunci secara in vitro terhadap bakteri S.aureus dan MRSA serta aktivitas antibakteri in situ sediaan ekstrak terhadap infeksi kulit yang disebabkan S.aureus pada kelinci, dan menentukan senyawa yang berperan sebagai antibakteri pada fraksi aktif, serta menentukan lokasi kerja antibakteri fraksi aktif tersebut terhadap S.aureus. Serbuk simplisia rimpang temu kunci diekstraksi dengan metode refluks menggunakan etanol 96%, kemudian difraksinasi dengan cara ekstraksi cair-cair menggunakan pelarut n-heksana dan etil asetat. Aktivitas antibakteri in vitro ekstrak etanol, fraksi n-heksana, fraksi etil asetat, dan fraksi air diuji dengan metode mikrodilusi untuk menentukan nilai konsentrasi hambat minimum (KHM) dan konsentrasi bakterisid minimum (KBM) serta kesetaraan aktivitas antibakteri terhadap antibiotik pembanding (tetrasiklin HCl) dengan difusi agar untuk bakteri S.aureus dan MRSA. Bioautografi dilakukan terhadap fraksi paling aktif untuk menentukan senyawa yang berperan sebagai antibakteri. Penentuan lokasi kerja antibakteri fraksi aktif diamati dengan Scanning Electron Microscopy (SEM). Pengujian aktivitas antibakteri in situ dilakukan dengan memberikan sediaan salep dan krim ekstrak serta salep oksitetrasiklin pembanding pada kelinci yang telah disuntikkan bakteri S.aureus. Parameter yang diamati meliputi diameter eritema, ketebalan udem, dan diameter nanah. Uji iritasi primer dan okuler dilakukan untuk menilai kemanan sediaan topikal. Hasil uji mikrodilusi menunjukkan nilai KHM ekstrak etanol, fraksi n-heksana, dan fraksi etil asetat untuk S.aureus berturut turut yaitu 64, 64, dan 512 µg/mL, sedangkan untuk MRSA 128, 128, dan 1024 µg/mL. Nilai KBM ekstrak etanol, fraksi n-heksana, dan fraksi etil asetat untuk S.aureus berturut turut yaitu 256, 64, dan 1024 µg/mL, sedangkan untuk MRSA 8192, 128, dan 1024 µg/mL. Hasil uji bioautografi fraksi n-heksana menghasilkan dua bercak aktif antibakteri untuk S.aureus. Pengamatan dengan SEM pada sel yang diberikan fraksi n-heksana menunjukkan perubahan morfologi sel S.aureus menjadi tidak rata dan tidak teratur. Hasil uji antibakteri in situ menunjukkan skor total salep oksitetrasiklin 3% lebih rendah dan berbeda bermakna (p<0,05) terhadap kontrol positif pada hari ke-4 pengobatan, sedangkan skor total krim ekstrak 3% lebih rendah dan berbeda bermakna (p<0,05) terhadap kontrol positif pada hari ke-6, dan berbeda bermakna (p<0,05) terhadap salep oksitetrasiklin 3% pada hari ke-23. Sediaan salep ekstrak 3% baru menunjukkan perbedaan bermakna (p<0,05) terhadap kontrol positif pada hari ke-25. Fraksi n ii heksana menunjukkan aktivitas antibakteri paling baik dibandingkan ekstrak etanol, fraksi etil asetat, dan fraksi air terhadap S.aureus dan MRSA. Kesetaraan aktivitas antibakteri fraksi n-heksana terhadap tetrasiklin HCl paling tinggi terhadap bakteri MRSA (1 mg fraksi ~ 1,79 x 10 -2 mg tetrasiklin HCl). Terdapat senyawa flavonoid selain panduratin A yang memiliki peran paling kuat sebagai antibakteri pada fraksi n-heksana. Berdasarkan hasil SEM, lokasi kerja antibakteri fraksi n-heksana diduga pada membran sel atau protein. Sediaan krim esktrak 3% memberikan aktivitas antibakteri paling baik dibandingkan salep oksitetrasiklin 3% dan salep ekstrak 3% terhadap infeksi kulit karena S.aureus. Sediaan salep dan krim esktrak 3% tidak mengiritasi kulit dan mata.