digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Tikus merupakan salah satu hewan yang memiliki enzim urikase yang dapat mengubah asam urat sebagai produk akhir pemecahan purin menjadi bentuk yang lebih larut dalam cairan tubuh yaitu alantoin. Sehingga secara alamiah tikus tidak dapat mengalami hiperurisemia. Selama ini, induksi hiperurisemia dilakukan menggunakan kalium oksonat yang berperan menghambat kerja enzim urikase, sehingga proses pengubahan asam urat menjadi alantoin akan terhambat. Pada penelitian ini, induksi hiperurisemia dilakukan dengan mempengaruhi proses metabolisme purin pada tikus yaitu dengan pemberian makanan tinggi purin yang seringkali dihindari oleh pasien yang memiliki keadaan hiperurisemia atau gout. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan metode induksi hiperurisemia dengan bahan induksi biji melinjo. Penelitian ini menggunakan tikus jantan galur Sprague Dawley. Penelitian terbagi menjadi dua yaitu 1) perbandingan bahan-bahan induksi untuk mengetahui perbedaan antar metode induksi, 2) penentuan waktu optimum untuk pemberian senyawa uji antihiperurisemia. Pada penelitian pertama, hewan dibagi menjadi 5 kelompok (n=3), yaitu kelompok normal yang diberikan CMCNa 1%, kelompok induksi suspensi simplisia biji melinjo dalam 1% CMCNa sebanyak 4,5 g/kg bb/hari, kelompok induksi jus hati ayam sebanyak 20 mL/kg bb/hari, kelompok induksi campuran simplisia biji melinjo dan jus hati ayam sebanyak (20 mL + 4,5 g)/kg bb/hari, dan kelompok induksi ekstrak etanol biji melinjo sebanyak 0,30 g/kg bb/hari). Masing-masing bahan induksi diberikan selama tujuh hari. Digunakan dua metode pengukuran yaitu alat Easy Touch ® GCU Blood Uric Acid dan kit Uric acid-Liquizyme Uricase-PAP (Single Reagent). Hewan pada masing-masing kelompok diperiksa kadar asam uratnya dengan menggunakan dua metode tersebut sebelum pemberian bahan induksi dan diperiksa homogenitasnya. Pemeriksaan kadar asam urat dilakukan pada jam ke-2, jam ke-4, dan jam ke-6 setelah induksi pada H1 hingga H7 dengan menggunakan alat Easy Touch ® GCU Blood Uric Acid. Hasil penelitian menunjukkan kelompok induksi suspensi simplisia biji melinjo mengalami kenaikan kadar asam urat setelah induksi hari ketiga yang teramati antara jam kedua dan jam keempat. Kemudian dilakukan penelitian selanjutnya dengan membagi tikus menjadi dua kelompok (n=4) yaitu kelompok normal yang diberikan CMCNa 1% dan kelompok induksi suspensi simplisia biji melinjo sebanyak 4,5 g/kg bb/hari. Darah tikus diambil dari vena ekor pada H0, H3, H6, dan H10 sesaat sebelum induksi (T0) dan tiga jam setelah induksi (T3), diperiksa menggunakan kit Uric acid- Liquizyme Uricase-PAP (Single Reagent). Hasil perhitungan statistik menggunakan Mann Whitney U-Test pada penelitian pertama untuk membandingkan masing-masing kelompok induksi dengan kelompok normal menunjukkan tidak ada kelompok yang berbeda bermakna (p>0,05 dan p>0,1). Hasil perhitungan statistik menggunakan independent t-test pada penelitian kedua menunjukkan kenaikan kadar asam urat setelah 9 hari induksi yang berbeda bermakna (p<0,05). Perhitungan statistik menggunakan dependent t-test untuk menentukan perbedaan kadar asam urat sebelum induksi (T0) dan tiga jam setelah induksi (T3), maupun perhitungan statistik menggunakan independent t-test untuk menentukan perbedaan rata-rata selisih T3 dan T0 kelompok induksi suspensi simplisia biji melinjo terhadap kelompok normal menunjukkan tidak adanya perbedaan yang bermakna baik pada hari ke-0, hari ke-3, hari ke-6, dan hari ke-10 (p>0,1 dan p>0,05). Sehingga dapat disimpulkan bahwa biji melinjo dapat digunakan sebagai bahan penginduksi hiperurisemia berdasarkan penelitian yang dilakukan selama 9 hari dengan pemberian sebanyak 4,5 g/kg bb/hari. Dari model tikus hiperurisemia ini, dapat dikorelasikan bahwa secara klinis, konsumsi melinjo dalam jangka panjang dapat mengakibatkan hiperurisemia pada manusia, karena pemberian melinjo pada tikus yang memiliki enzim urikase pun dapat menyebabkan hiperurisemia.