Tikus merupakan salah satu hewan yang memiliki enzim urikase yang dapat mengubah
asam urat sebagai produk akhir pemecahan purin menjadi bentuk yang lebih larut dalam
cairan tubuh yaitu alantoin. Sehingga secara alamiah tikus tidak dapat mengalami
hiperurisemia. Selama ini, induksi hiperurisemia dilakukan menggunakan kalium oksonat
yang berperan menghambat kerja enzim urikase, sehingga proses pengubahan asam urat
menjadi alantoin akan terhambat. Pada penelitian ini, induksi hiperurisemia dilakukan
dengan mempengaruhi proses metabolisme purin pada tikus yaitu dengan pemberian
makanan tinggi purin yang seringkali dihindari oleh pasien yang memiliki keadaan
hiperurisemia atau gout. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan metode induksi
hiperurisemia dengan bahan induksi biji melinjo. Penelitian ini menggunakan tikus jantan
galur Sprague Dawley. Penelitian terbagi menjadi dua yaitu 1) perbandingan bahan-bahan
induksi untuk mengetahui perbedaan antar metode induksi, 2) penentuan waktu optimum
untuk pemberian senyawa uji antihiperurisemia. Pada penelitian pertama, hewan dibagi
menjadi 5 kelompok (n=3), yaitu kelompok normal yang diberikan CMCNa 1%, kelompok
induksi suspensi simplisia biji melinjo dalam 1% CMCNa sebanyak 4,5 g/kg bb/hari,
kelompok induksi jus hati ayam sebanyak 20 mL/kg bb/hari, kelompok induksi campuran
simplisia biji melinjo dan jus hati ayam sebanyak (20 mL + 4,5 g)/kg bb/hari, dan
kelompok induksi ekstrak etanol biji melinjo sebanyak 0,30 g/kg bb/hari). Masing-masing
bahan induksi diberikan selama tujuh hari. Digunakan dua metode pengukuran yaitu alat
Easy Touch
®
GCU Blood Uric Acid dan kit Uric acid-Liquizyme Uricase-PAP (Single
Reagent). Hewan pada masing-masing kelompok diperiksa kadar asam uratnya dengan
menggunakan dua metode tersebut sebelum pemberian bahan induksi dan diperiksa
homogenitasnya. Pemeriksaan kadar asam urat dilakukan pada jam ke-2, jam ke-4, dan jam
ke-6 setelah induksi pada H1 hingga H7 dengan menggunakan alat Easy Touch
®
GCU
Blood Uric Acid. Hasil penelitian menunjukkan kelompok induksi suspensi simplisia biji
melinjo mengalami kenaikan kadar asam urat setelah induksi hari ketiga yang teramati
antara jam kedua dan jam keempat. Kemudian dilakukan penelitian selanjutnya dengan
membagi tikus menjadi dua kelompok (n=4) yaitu kelompok normal yang diberikan
CMCNa 1% dan kelompok induksi suspensi simplisia biji melinjo sebanyak 4,5 g/kg
bb/hari. Darah tikus diambil dari vena ekor pada H0, H3, H6, dan H10 sesaat sebelum
induksi (T0) dan tiga jam setelah induksi (T3), diperiksa menggunakan kit Uric acid-
Liquizyme Uricase-PAP (Single Reagent). Hasil perhitungan statistik menggunakan Mann
Whitney U-Test pada penelitian pertama untuk membandingkan masing-masing kelompok
induksi dengan kelompok normal menunjukkan tidak ada kelompok yang berbeda
bermakna (p>0,05 dan p>0,1). Hasil perhitungan statistik menggunakan independent t-test
pada penelitian kedua menunjukkan kenaikan kadar asam urat setelah 9 hari induksi yang
berbeda bermakna (p<0,05). Perhitungan statistik menggunakan dependent t-test untuk
menentukan perbedaan kadar asam urat sebelum induksi (T0) dan tiga jam setelah induksi
(T3), maupun perhitungan statistik menggunakan independent t-test untuk menentukan
perbedaan rata-rata selisih T3 dan T0 kelompok induksi suspensi simplisia biji melinjo
terhadap kelompok normal menunjukkan tidak adanya perbedaan yang bermakna baik
pada hari ke-0, hari ke-3, hari ke-6, dan hari ke-10 (p>0,1 dan p>0,05). Sehingga dapat
disimpulkan bahwa biji melinjo dapat digunakan sebagai bahan penginduksi hiperurisemia
berdasarkan penelitian yang dilakukan selama 9 hari dengan pemberian sebanyak 4,5 g/kg
bb/hari. Dari model tikus hiperurisemia ini, dapat dikorelasikan bahwa secara klinis,
konsumsi melinjo dalam jangka panjang dapat mengakibatkan hiperurisemia pada
manusia, karena pemberian melinjo pada tikus yang memiliki enzim urikase pun dapat
menyebabkan hiperurisemia.
Perpustakaan Digital ITB