digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Negara Indonesia merupakan negara yang berkembang sehingga sangat sering terjadi penyakit infeksi yang disebabkan oleh invasi bakteri patogen ke dalam tubuh. Pengobatan penyakit infeksi adalah dengan antibiotik. Resistensi bakteri terhadap antibiotik merupakan permasalahan global yang sering terjadi terutama di lingkungan rumah sakit. Salah satu cara mencegah penyebaran resistensi bakteri terhadap antibiotik dan pengendalian infeksi bakteri adalah dengan membuat pola resistensi bakteri terhadap antibiotik di rumah sakit. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pola resistensi bakteri pada sputum pasien rawat inap di sebuah rumah sakit di Bandung terhadap antibiotik yang digunakan. Penelitian dilakukan dengan mengkaji hasil kultur bakteri yang diisolasi dari sputum pasien rawat inap pada empat triwulan periode pengamatan (Januari-Maret; April-Juni; Juli-September; Oktober-Desember) tahun 2014. Dari penelitian ini ditemukan jenis bakteri yang terdapat pada sputum pasien adalah Streptococcus mitis/Streptococcus oralis (13%), Klebsiella pneumoniae (12,8%), Pseudomonas aeruginosa (9%), Acinetobacter baumanii (7,2%), Streptococcus salivarius (5,6%), Streptococcus parasanguinis (5,2%), Staphylococcus aureus (2,6%), dan Streptococcus alactolyticus (2,6%). Hasil uji sensitivitas menunjukkan adanya resistensi Streptococcus mitis/Streptococcus oralis terhadap gentamisin, amikasin, kanamisin dan trimetoprim-sulfametoksazol dengan sensitivitas berturut-turut 22,6%, 9,7%, 0% dan 22,6%; resistensi Klebsiella penumoniae terhadap ampisilin dan amoksisilin dengan sensitivitas masing-masing 0%; resistensi Pseudomonas aeruginosa terhadap kanamisin, ampisilin-sulbaktam, trimetoprim-sulfametoksazol, tigesiklin, amoksisilin-asam klavulanat, ampisilin, sefuroksim dan seftriakson dengan sensitivitas masing-masing 0%, dan terhadap seftizoksim dengan sensitivitas 11,1%; resistensi Acinetobacter baumanii terhadap amoksisilin-asam klavulanat, ampisilin, amoksisilin, sefuroksim dan seftriakson dengan sensitivitas masingmasing 0%; resistensi Streptococcus salivarius terhadap antibiotik amikasin, gentamisin dan kanamisin dengan sensitivitas berturut-turut 11,1%, 22,2% dan 0%; resistensi Streptococcus parasanguinis terhadap amikasin dan kanamisin dengan sensitivitas masing-masing 33,3%; resistensi Streptococcus alactolyticus terhadap amikasin dan kanamisin dengan sensitivitas masing-masing 0%; sedangkan Staphylococcus aureus tidak mengalami resistensi terhadap semua antibiotik yang diuji (sensitivitas 100%). Streptococcus mitis/Streptococcus oralis, Klebsiella pneumoniae, Streptococcus salivarius, Staphylococcus aureus dan Streptococcus alactolyticus tidak mengalami perubahan sensitivitas pada ke-4 triwulan periode pengamatan. Pola resistensi Pseudomonas aeruginosa dari sensitif pada triwulan ke-1 menjadi resisten pada triwulan ke-2 dan kembali sensitif pada triwulan ke-3 dan ke-4; Acinetobacter baumanii dan Streptococcus parasanguinis yang resisten terhadap antibiotik-antibiotik uji pada triwulan ke-1 dan ke-2 menjadi sensitif pada triwulan ke-3 dan ke-4. Penggunaan antibiotik utama untuk infeksi bakteri yang terdapat pada sputum pasien rawat inap di rumah sakit tersebut sudah sesuai.