digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

2019_DIS_PP_DYAH_GAYATRI_PUSPITASARI_1.pdf
PUBLIC Noor Pujiati.,S.Sos

2019_DIS_PP_DYAH_GAYATRI_PUSPITASARI_2.pdf
PUBLIC Noor Pujiati.,S.Sos

hiaroscuro secara sempit dapat diartikan sebagai visualisasi pencahayaan. Teknik ini semula digunakan pada bidang seni lukis. Namun, pada perkembangannya, chiaroscuro digunakan di dalam bidang film. Dalam arti luas, chiaroscuro tidak berhenti hanya pada lingkup lapis luar (surface layer) cahaya yang hanya terbatas pada visualisasi pencahayaan, melainkan juga menyentuh muatan pesan dan makna pada lapis dalam (deep layer). Di dalam disertasi ini, penelitian chiaroscuro sedemikian dilakukan terhadap tiga buah film karya Hanung Bramantyo, yakni Sang Pencerah, Perempuan Berkalung Sorban, dan ? (Tanda Tanya). Karya-karya sutradara Hanung Bramantyo dipilih mengingat secara objektif karyanya menunjukkan tanda-tanda yang menonjol terkait topik ini. Tujuan yang ingin dicapai dalam kajian terhadap film-film tersebut adalah untuk mengetahui dan memahami fungsi chiaroscuro dalam kaitan dengan pembentukan kesatuan aspek bentuk dan tematik, yang darinya dapat ditemukan konsep baru tentang chiaroscuro dalam film karya Hanung Bramantyo. Untuk mencapai tujuan ini digunakan pendekatan studi budaya (cultural studies) dan metode interdisiplin. 2 Dengan menggunakan pendekatan dan metode ini, ditemukan beberapa hal menarik sebagai berikut. Pertama, chiaroscuro dalam film karya Bramantyo telah digunakan dalam mengkonstruksi kesatuan bentuk yang juga direlasikan secara signifikan dalam pembentukan aspek tematik film. Pada aspek bentuk, Bramantyo antara lain memadukan cahaya natural dan artifisial yang mampu menghasilkan pola-pola relasi oposisi biner cahaya (terang-gelap), konstruksi cahaya bayang-bayang, dan kontradiksi-kontradiksi cahaya. Kedua, dalam relasinya dengan aspek tematik dan pembentukan makna secara lebih luas, chiaroscuro dalam film karya Bramantyo merupkan konstruksi sistem tanda visual yang berelasi dengan nilai-nilai dan makna budaya tempat film tersebut diciptakan (Jawa, khususnya Jawa Tengah). Di sini, chiaroscuro menjadi representasi manusia Jawa yang dalam kehidupannya selalu mengedepankan nilai (kultural, spiritual, dan filosofis). Ketiga, relasi lapis luar dan lapis dalam mengkonstruksi pengetahuan (epistemologi) baru tentang chiaroscuro. Jika menurut teori Keating sebelumnya chiaroscuro merupakan konstruksi cahaya yang berfungsi sebatas pada pembentukan efek dramatik dan penciptaan kesan serta pesan tertentu; dalam film karya Bramantyo chiaroscuro juga memiliki muatan nilai-nilai kultural dan filosofis. Ini terjadi karena Bramantyo mendialogkan aspek saintifik teknologi pencahayaan dengan nilai dan makna cahaya kultural masyarakat Jawa. Dialog ini juga mengidentifikasi konstruksi baru tentang konsep pencerahan (enlightement). Jika konsep pencerahan berbanding lurus dengan cahaya terang, dalam film karya Bramantyo ditemukan bahwa pencerahan itu juga ditemukan dalam ruang-ruang gelap kehidupan (endarkement). Berdasarkan tiga temuan tersebut dalam disertasi ini dirumuskan satu model atau perspektif sinematik film Indonesia, dalam hal ini khususnya chiaroscuro yang berbasis nilai-nilai lokal, yaitu chiaroscuro sebagai Cahaya Ketiga. Cahaya Ketiga adalah entitas cahaya yang dibentuk dari pertemuan dual cahaya, yakni cahaya artifisial-saintifik dengan cahaya kultural filosofis. Cahaya artifisial-saintifik bersifat mekanistik karena bersumber dari teknologi pencahayaan. Cahaya kultural-filosofis merupakan cahaya yang menetap sebagai subjek, baik pada manusia maupun benda-benda.Cahaya Ketiga menjadi sebuah konstruksi konseptual cahaya yang di dalamnya terkandung prinsip-prinsip dasar (ontologi) cahaya yang berbeda dari sebelumnya.