Sejarah awal kasepuhan Ciptagelar telah tercatat sejak tahun 1368 di Cipatat Urug. Leluhur Ciptagelar memiliki tradisi ngalalakon atau memindahkan permukiman. Sampai dengan saat ini telah terjadi 19 kali ngalalakon dan Kasepuhan Ciptagelar menjadi permukiman terkini sejak tahun 2000. Secara geografis, Kasepuhan Ciptagelar berada di dataran tinggi Gunung Halimun sebagai salah satu penyusun Pegunungan Kendeng di Jawa Barat. Kasepuhan Ciptagelar merupakan permukiman adat berbasis budaya padi. Budaya padi adalah sistem kepercayaan dan religi warga yang mempengaruhi semua lini kehidupan, termasuk permukiman.
Disertasi ini bermaksud mengungkap pengaruh budaya padi terhadap permukiman Kasepuhan Ciptagelar, dengan cara menggali makna dan peran ngalalakon sebagai tradisi bermukim dan menggali konsep spasial masyarakat budaya padi di Kasepuhan Ciptagelar. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan strategi etnografi. Sebelum turun ke lapangan, peneliti tetap defocus dan melakukan reconnaissance. Data dihimpun melalui proses wawancara, participant observation, dan catatan etnografi. Data dibagi dalam dua kelompok, yaitu data sistem kepercayaan dan aktivitas budaya padi. Data kelompok pertama dianalisis melalui pendekatan thick description. Data kelompok kedua dianalisis secara bertahap menggunakan teknik analisis domain dan taksonomi. Hasil analisis diintegrasikan secara simultan untuk membangun teori.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: (I). Permukiman Ciptagelar dirancang berdasarkan prinsip budaya padi, dengan akar budaya padi huma sebagai rujukan utama walaupun akulturasi budaya padi huma dan sawah telah terjadi. (II). Pancer-pangawinan sebagai rujukan konsep spasial, tersusun atas tujuh konsep yang saling mempengaruhi, yaitu sakuren, paparakoan, suwung, ngalasuwung, pangawinan, sifat taksa, dan pancer; (a) sakuren menjadi prasyarat terjadinya pancer-pangawinan; (b) paparakoan adalah latar dan titian ngalasuwung dalam rangka menuju suwung; (c) ngalasuwung adalah pola gerak spasial sebagai proses mencari, menemukan, dan membawa sakuren ke ruang suwung; (d) suwung adalah tempat tujuan ngalasuwung; (e) pangawinan merupakan proses mempertemukan atau mengawinkan realitas sakuren di ruang suwung; (f). taksa adalah sifat yang muncul dari hasil pangawinan; (g) pancer adalah tujuan pangawinan; pancer adalah keselamatan. (III) Leuit Jimat yang menempati ruang suwung sebagai pungpuhunan, axis mundi, sawen kasepuhan, sekaligus imago mundi. (IV). Jaring elemen proteksi membangun sistem teritorial permukiman secara berlapis; dan (V) Talapak menjadi prasyarat berdirinya permukiman.
Temuan disertasi ini berkontribusi pada kebaruan bidang arsitektur dalam hal: (I). Sakuren sebagai tinjaun kritis terhadap konsep dualisme yang sudah ada. (II). paparakoan sebagai konsep spasial asli Sunda. (III) Pancer-pangawinan sebagai referensi konsep spasial masyarakat budaya padi. (IV). Leuit Jimat sebagai axis mundi yang bisa berpindah tempat. (V). Talapak sebagai prasyarat berdirinya permukiman Sunda. (VI). Ngalasuwung dan ngalalakon adalah pola gerak spasial dalam rangka membangun ruang vertikal. (VII). Prinsip pancer-pangawinan sebagai strategi mengembangkan kebudayaan baru (VIII). Pendekatan thick description sebagai cara membaca data meta-empiris suatu karya tradisi.