Pemenuhan kebutuhan perumahan oleh pemerintah tidak hanya harus memenuhi standar kelayakan tapi juga standar keterjangkauan. Untuk mencapai standar pelayanan minimum perumahan yang layak huni dan terjangkau maka diperlukan suatu indikator yang dapat memberikan gambaran tentang kemampuan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan rumah. Indikator tersebut menjelaskan keterjangkauan perumahan (housing affordability). Indikator keterjangkauan penting untuk diketahui sebagai gambaran tingkat kemampuan masyarakat terutama masyarakat berpenghasilan rendah dalam memperoleh rumah yang layak sesuai standar, dalam hal ini yaitu Rumah Sederhana Sehat. Kota Bandung merupakan salah satu kota yang kebutuhan dan permintaan perumahannya meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk dan perkembangan kotanya yang pesat. Hingga saat ini belum diketahui tingkat keterjangkauan masyarakat berpenghasilan rendah untuk memenuhi kebutuhan perumahan di Kota Bandung. Belum adanya indikator keterjangkauan merupakan salah satu penyebab mengapa hingga saat ini penyediaan perumahan yang dilaksanakan oleh pemerintah, baik pemerintah pusat maupun daerah belum memenuhi cakupan layanan rumah layak huni dan terjangkau. Tingkat keterjangkauan ini diperlukan sebagai acuan dalam penyediaan perumahan bagi masyarakat yang sesuai dengan kebutuhan dan permintaan, terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Dalam penyediaan perumahan dikenal konsep kebutuhan perumahan (supply) dan konsep permintaan (demand) perumahan. Tingkat keterjangkauan sangat terkait dengan konsep permintaan perumahan. Perhitungan tingkat permintaan perumahan dilakukan dengan berbagai metode seperti Konsep Ability To Pay, Willingness To Pay serta Housing Affordability. Tingkat Keterjangkauan Perumahan adalah besar persentase dari pendapatan rumah tangga yang dikeluarkan untuk perumahan. Keterjangkauan terhadap rumah dipengaruhi oleh tingkat pendapatan keluarga, distribusi pendapatan, ukuran rumah tangga, harga rumah dan pengeluaran non perumahan. Penelitian ini mengidentifikasi tingkat keterjangkauan masyarakat berpenghasilan rendah terhadap kepemilikan rumah sederhana sehat di Kota Bandung dengan menggunakan pendekatan residual income dan metode Shelter Poverty Affordability Scale. Hasil studi menunjukkan bahwa tingkat keterjangkauan masyarakat berpenghasilan rendah terhadap kepemilikan rumah sederhana sehat yaitu sebanyak 62,67% responden mampu menjangkau biaya cicilan minimum RSh tipe 27 sebesar Rp 208.000. Sedangkan masyarakat yang mampu menjangkau biaya cicilan minimum RSh tipe 36 sebesar Rp 380.000 hanya sebesar 37,33% responden. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata biaya perumahan maksimum yang dapat dijangkau masyarakat berada di bawah biaya cicilan minimum RSh tipe 36. Kebijakan RSh sudah cukup terjangkau oleh masyarakat yang termasuk kelompok sasaran penghasilan untuk RSh bersubsidi, namun jika ditinjau dari keseluruhan masyarakat berpenghasilan rendah masih banyak masyarakat yang belum mampu menjangkau biaya cicilan minimum RSh tersebut. Perbandingan tingkat keterjangkauan dengan perhitungan metode Ability To Pay dan Willingness To Pay juga menunjukkan perbedaan hasil yang dipengaruhi oleh karakteristik sosial, ekonomi, serta preferensi masyarakat. Penyediaan rumah bagi masyarakat perlu memperhatikan tingkat keterjangkauan agar bantuan subsidi pembiayaan perumahan dapat teralokasi dengan baik dan tepat sasaran. Diperlukan rekomendasi terhadap kebijakan pembiayaan RSh bersubsidi agar dapat meningkatkan akses masyarakat berpenghasilan rendah terhadap kepemilikan rumah.
Perpustakaan Digital ITB