Nusa Tenggara Timur (NTT) terletak di antara dua zona subduksi aktif, yaitu
Megathrust Jawa dan Flores Back-Arc Thrust, sehingga wilayah ini rentan terhadap
bahaya tsunami. Namun, belum ada studi sebelumnya yang secara khusus menilai
bahaya tsunami bagi desa-desa pesisir di NTT. Studi ini menyimulasikan potensi
tsunami yang dipicu oleh gempa bumi hipotetik di sepanjang kedua zona subduksi
tersebut menggunakan COMCOT v1,7 dan Linear Shallow Water Equation.
Parameter gempa diperoleh dari laporan Pusat Studi Gempa Nasional tahun 2017
dan geometri segmen patahan. Hasil model menunjukkan ketinggian tsunami
maksimum mencapai 25,1 meter di sepanjang pantai selatan Pulau Sumba yang
terletak di bagian barat daya NTT. Perbandingan dengan data PTHA periode ulang
500 tahun dari penelitian Horspool (2013) menunjukkan perbedaan ketinggian
tsunami berkisar antara 0,04 hingga 2 meter pada 35 titik tinjauan terpilih. Setelah
menyesuaikan dengan elevasi pesisir dan menerapkan klasifikasi bahaya oleh Latief
(2012), terdapat 955 dari 974 desa pesisir NTT atau sekitar 98% desa pesisir
berpotensi terdampak tsunami, dengan 130 desa pesisir (13%) diklasifikasikan
sebagai bahaya sangat tinggi (>10 m). Selain itu, studi ini juga mengaitkan bahaya
tsunami dengan kerentanan faktor kepadatan penduduk sehingga menghasilkan
risiko tsunami dengan 11 dari 974 desa pesisir NTT (1,13%) memiliki risiko sangat
tinggi. Hasil studi menemukan bahwa ada ancaman tsunami yang signifikan di NTT
dan memberikan dasar ilmiah untuk mengembangkan strategi mitigasi skala lokal,
seperti perencanaan evakuasi dan kebijakan infrastruktur pesisir.
Perpustakaan Digital ITB