Biodiesel merupakan bahan bakar terbarukan yang semakin mendapat perhatian
dalam transisi menuju energi berkelanjutan karena memiliki keunggulan berupa
kompatibilitas tinggi dengan mesin diesel konvensional serta emisi gas rumah kaca
yang lebih rendah dibandingkan solar fosil. Di Indonesia, pertumbuhan produksi
biodiesel meningkat signifikan dari 8,6 juta kiloliter pada tahun 2020 menjadi 10,8
juta kiloliter pada tahun 2022. Meski demikian, biodiesel masih menghadapi
kendala utama berupa kestabilan oksidasi yang rendah, yang dapat memicu
pembentukan senyawa peroksida dan produk degradasi lainnya selama
penyimpanan, sehingga menurunkan kualitas bahan bakar dan berisiko merusak
sistem mesin.
Salah satu pendekatan yang menjanjikan untuk mengatasi persoalan ini adalah
proses transfer hidrogen. Proses ini bertujuan mengonversi ikatan rangkap pada
asam lemak tak jenuh menjadi ikatan tunggal yang lebih stabil, sehingga menekan
kecenderungan biodiesel untuk mengalami degradasi oksidatif. Gliserol, sebagai
produk samping utama dalam produksi biodiesel, memiliki potensi besar untuk
dimanfaatkan sebagai donor hidrogen dalam reaksi ini melalui mekanisme
dehidrogenasi. Pemanfaatan gliserol tidak hanya mendukung efisiensi reaksi, tetapi
juga memberikan nilai tambah terhadap pemanfaatan limbah industri biodiesel.
Dalam penelitian ini, digunakan katalis bimetal Ni-Cu berbasis silika yang secara
teoritis mampu mendukung reaksi transfer hidrogen melalui mekanisme
biomimetik. Nikel berfungsi sebagai katalis hidrogenasi terhadap senyawa tak
jenuh, sementara Cuprum efektif dalam memfasilitasi dehidrogenasi gliserol
menjadi dihidroksiaseton (DHA), sehingga menghasilkan hidrogen in situ.
Kombinasi ini diharapkan dapat menggantikan peran enzim gliserol dehidrogenase
dan NADH dalam sistem biologis. Berdasarkan analisis termodinamika, reaksi
transfer hidrogen parsial dari metil linoleat ke metil oleat dengan gliserol
menunjukkan nilai ?G°r,298°C sebesar -46,66 kJ/mol, menandakan reaksi
berlangsung spontan secara eksotermik pada kondisi moderat.
Tujuan utama penelitian ini adalah mengevaluasi performa katalis Ni-Cu/Silika
dalam reaksi transfer hidrogen menggunakan gliserol yang telah dimodifikasi
menjadi trikalsium oktagliseroksida (TO) sebagai agen pembasa sekaligus donor hidrogen. Reaksi dilakukan dengan sistem batch menggunakan 100 mL FAME, 7,6
gram gliserol dalam bentuk TO, dan 1 gram katalis Ni-Cu/Silika, pada suhu 80 °C
selama 4 jam sebagai kondisi kontrol. Selanjutnya, dilakukan variasi waktu reaksi
(1,5–6,5 jam), suhu reaksi (80–160 °C), dan massa umpan gliserol (7,6–22,8 gram)
untuk mengetahui kondisi optimum. Analisis produk dilakukan melalui uji bilangan
iodium (indikator ikatan rangkap), angka peroksida (indikator oksidasi), dan
kestabilan oksidasi menggunakan metode Rancimat.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan katalis Ni-Cu/Silika pada kondisi
kontrol belum menunjukkan hasil optimal. Bilangan iodium hanya menurun sedikit,
sementara angka peroksida meningkat drastis hingga +19,76 meq O?/kg,
menyebabkan penurunan drastis kestabilan oksidasi sebesar -11,01 jam. Hal ini
menunjukkan bahwa meskipun terjadi reaksi, pembentukan senyawa oksidatif
masih dominan. Variasi waktu reaksi menunjukkan bahwa transfer hidrogen mulai
efektif setelah 2 jam, namun waktu yang terlalu lama (>4 jam) meningkatkan
akumulasi peroksida, sehingga menurunkan OS secara signifikan.
Dari variasi suhu reaksi, suhu optimum berada pada kisaran 80–100 °C. Pada suhu
ini, terjadi penurunan ikatan rangkap dengan pembentukan peroksida yang masih
dapat dikendalikan. Suhu di atas 120 °C justru memperburuk kestabilan oksidasi
akibat peningkatan radikal bebas dan degradasi termal. Pengujian massa gliserol
menunjukkan bahwa penambahan gliserol hingga 10–15 gram meningkatkan
efisiensi transfer hidrogen, tetapi penambahan lebih dari itu menyebabkan kenaikan
kembali bilangan iodium dan peroksida, diduga akibat reaksi samping atau
pengaruh kimia TO berlebih.
Isolasi variabel menunjukkan bahwa katalis Ni-Cu tanpa TO menghasilkan
penurunan ikatan rangkap yang lebih rendah namun cenderung meningkatkan
peroksida. Sementara itu, TO tanpa katalis justru menyebabkan kenaikan bilangan
iodium, mengindikasikan bahwa TO sendiri dapat memicu reaksi samping terhadap
biodiesel. Kombinasi keduanya diperlukan, namun perlu optimasi.
Sebagai strategi lanjutan, pendekatan dua tahap direkomendasikan, yaitu tahap
pertama untuk membentuk senyawa oksidatif dari ikatan rangkap, dan tahap kedua
untuk mereduksi senyawa tersebut melalui transfer hidrogen. Strategi ini
diharapkan menghasilkan biodiesel dengan angka iodium dan peroksida rendah
serta stabilitas oksidasi tinggi.
Penelitian ini memberikan kontribusi penting terhadap pengembangan proses
transfer hidrogen biodiesel yang lebih ekonomis dan berkelanjutan, dengan
memanfaatkan gliserol sebagai donor hidrogen dan katalis non-mulia sebagai
sistem aktif. Optimalisasi kondisi reaksi tetap menjadi kunci keberhasilan
implementasi teknologi ini secara luas.
Perpustakaan Digital ITB