Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi GRK sebesar 29%
pada tahun 2030 melalui berbagai strategi mitigasi, termasuk penerapan mekanisme
nilai ekonomi karbon, seperti perdagangan karbon. Untuk mengurangi emisi
karbon, PT PLN (Persero) menerapkan berbagai strategi, termasuk cofiring
biomassa dan pengembangan pembangkit energi baru terbarukan (EBT) sesuai
dengan RUPTL. Sistem Jamali (Jawa, Madura, Bali), yang menyumbang 67%
bauran energi nasional pada 2020, masih didominasi oleh Pembangkit Listrik
Tenaga Uap (PLTU) berbahan bakar batubara. Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis pengaruh cofiring biomassa, peningkatan bauran EBT, dan
perdagangan karbon terhadap pengurangan emisi GRK di PLTU PLN Sistem
Jamali. Perhitungan emisi memperhatikan data operasional pembangkit dan
kualitas bahan bakar yang digunakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
kombinasi peningkatan bauran EBT (27,5%) dan cofiring biomassa (5%) dapat
menurunkan produksi listrik batubara PLTU sebesar 58.689 GWh (41%) dan
konsumsi batubara sebesar 27,5 juta ton (37%) pada tahun 2034 dibandingkan
dengan skenario Business as Usual (BaU). Skenario kombinasi menurunkan emisi
GRK sebesar 54,4 juta tCO?e (39%) dari BaU dan 4,4 juta tCO?e (5%) dari skenario
tanpa cofiring, dengan pengaruh signifikan secara statistik (p = 0,006). Secara
spasial, skenario kombinasi menurunkan beban emisi di wilayah padat PLTU.
Dalam mekanisme cap and trade, skenario ini memperpanjang periode surplus
emisi dan mengurangi defisit emisi pada akhir periode evaluasi. Namun, skenario
ini juga memperketat nilai batas cap emisi pelaku usaha dibandingkan dengan
skenario BaU.
Perpustakaan Digital ITB