ekonomi nasional yang berkelanjutan. Akses terhadap energi listrik yang andal dan
merata menjadi kunci utama dalam peningkatan kualitas hidup masyarakat dan
daya saing industri. Di Indonesia, tantangan terbesar dalam sektor kelistrikan
adalah kesenjangan distribusi energi, khususnya di wilayah tertinggal, terdepan,
dan terluar (3T). Kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan dengan
ribuan pulau menuntut pendekatan desentralisasi energi yang efisien dan
berkelanjutan. Dalam konteks ini, pemanfaatan limbah padat domestik (sampah)
sebagai sumber energi alternatif menjadi opsi yang sangat potensial.
Sebagai bentuk kontribusi terhadap agenda Net Zero Emissions 2060 dan
implementasi Perjanjian Paris, teknologi pengolahan sampah berbasis termal
seperti insinerator dapat dikembangkan tidak hanya sebagai solusi lingkungan,
tetapi juga sebagai pembangkit listrik berbasis limbah. Salah satu pendekatan yang
relevan adalah penggunaan sistem pembangkitan dengan Organic Rankine Cycle
(ORC), yaitu sistem termodinamika yang memungkinkan konversi panas bersuhu
rendah hingga menengah menjadi energi mekanik dan selanjutnya energi listrik.
Sistem ini sangat cocok diaplikasikan pada kondisi gas buang hasil pembakaran
sampah yang suhunya tidak stabil namun cukup tinggi.
Penelitian ini mengkaji secara mendalam potensi pembangkitan listrik dari sistem
insinerator MASARO di Desa Babakan, Kabupaten Cirebon. Insinerator ini
merupakan sistem pengolahan sampah skala kecil yang mampu mengelola hingga
10 ton sampah per hari. Dari proses pembakaran tersebut, dihasilkan gas buang
dengan suhu berkisar antara 800°C hingga 1200°C. Melalui pendekatan simulasi
menggunakan perangkat lunak Aspen HYSYS versi 14, dilakukan pemodelan
sistem ORC dengan fluida kerja toluena. Pemilihan toluena didasarkan pada
karakteristik termofisika yang sesuai untuk temperatur sumber panas menengah,
memiliki titik didih yang stabil, dan bersifat non-korosif serta ramah lingkungan. Dalam simulasi ini, dilakukan variasi tekanan operasi fluida kerja dari 5 bar hingga
40 bar serta laju massa toluena antara 50 hingga 150 kg/jam. Selain itu, asumsi
penyerapan panas dari flue gas dibatasi secara konservatif hanya 10,5% dari total
potensi kalor teoretis (sekitar 312,85 kW) untuk merepresentasikan skenario
pemulihan panas parsial yang umum pada sistem skala kecil. Hasil simulasi
menunjukkan bahwa sistem ORC mampu menghasilkan listrik antara 30 hingga 70
kWh per hari, tergantung pada kombinasi parameter operasi. Efisiensi termal sistem
juga dapat mencapai ±27%, yang termasuk tinggi untuk sistem ORC bersumber
panas dari limbah padat.
Studi ini tidak hanya fokus pada aspek teknis, tetapi juga menganalisis dampak
lingkungan dan potensi ekonomi dari penerapan sistem ini. Secara lingkungan,
apabila sistem ini diterapkan secara penuh, maka akan terjadi pengurangan emisi
sekitar 18,36 ton CO? per tahun dari sisi substitusi penggunaan PLTD (Pembangkit
Listrik Tenaga Diesel). Lebih jauh, dari sisi pengelolaan sampah itu sendiri, potensi
pengurangan emisi dapat mencapai 180–360 ton CO?e per tahun, berdasarkan
perhitungan emisi metana dan karbon dioksida dari sampah yang tidak terkelola
secara termal.
Analisis keekonomian menunjukkan bahwa dengan skema investasi yang tepat dan
dukungan regulasi, sistem ini dapat mencapai kelayakan finansial jangka
menengah. Komponen investasi utama berasal dari kebutuhan heat exchanger tahan
korosi, turbin ORC, serta kontrol proses. Sistem ini akan lebih visible jika
diintegrasikan dengan kebijakan energi terbarukan dan penetapan tarif listrik yang
mendukung produksi lokal berbasis limbah.
Penelitian ini menegaskan bahwa sistem ORC berbasis insinerator skala kecil
seperti MASARO tidak hanya mampu mengubah sampah menjadi energi listrik
secara berkelanjutan, tetapi juga berkontribusi pada pengurangan emisi karbon
nasional serta mendukung elektrifikasi wilayah terpencil di Indonesia.
Perpustakaan Digital ITB