Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi unjuk kinerja proses gasifikasi
batubara lignit dalam memproduksi gas hidrogen menggunakan pendekatan
simulasi termodinamik dengan perangkat lunak Aspen Plus. Fokus utama dari studi
ini adalah membandingkan dua sistem pengumpanan yang berbeda, yaitu umpan
basah (coal-water slurry) dan umpan kering, dalam kondisi operasi entrained flow
gasifier. Tujuan penelitian meliputi: (i) mengetahui unjuk kinerja gasifikasi
batubara untuk menghasilkan hidrogen secara termodinamik, (ii) mengkaji
pengaruh berbagai parameter operasi terhadap hasil gasifikasi dan produksi
hidrogen, serta (iii) menentukan kondisi optimum untuk konversi karbon dan
efektivitas produksi hidrogen.
Metodologi yang digunakan melibatkan simulasi berbasis data batubara dari PLN
NP, dengan struktur pemodelan terdiri atas tahapan pengeringan, pirolisis, reaksi
gasifikasi (RGibbs), pemisahan abu, reaksi water gas shift (WGS), dan pemisahan
CO2 menggunakan pelarut amina. Analisis sensitivitas dilakukan terhadap berbagai
parameter operasi termasuk laju umpan batubara, rasio oksigen terhadap batubara,
rasio steam terhadap CO, serta pengaruh heat loss terhadap performa sistem.
Indikator kinerja yang dihitung meliputi konversi karbon, perolehan hidrogen, dan
efisiensi energi hidrogen.
Hasil simulasi menunjukkan bahwa proses gasifikasi secara termodinamik
dikendalikan oleh keseimbangan antara reaksi endotermis (gasifikasi karbon
dengan uap air dan CO2) dan reaksi eksotermis (oksidasi parsial). Temperatur tinggi
(sekitar 1200 °C) terbukti mendukung terbentuknya syngas dengan fraksi H2 dan
CO yang tinggi. Pada sistem pengumpan kering, temperatur tinggi mempercepat
reaksi endotermis, sedangkan pada pengumpan basah, peningkatan temperatur
dapat menurunkan fraksi H2 akibat pengaruh dominan reaksi oksidasi dan
pembentukan H2O.
Variasi tekanan menunjukkan pengaruh yang relatif kecil terhadap komposisi
produk karena keterbatasan perubahan mol gas dalam reaksi gasifikasi heterogen.
Sebaliknya, laju umpan batubara sangat memengaruhi temperatur dan komposisi
syngas. Peningkatan laju batubara menurunkan temperatur pada pengumpan basah karena dominasi reaksi endotermis, sementara pada sistem kering temperatur
meningkat akibat dominasi reaksi eksotermis.
Peningkatan laju oksigen meningkatkan temperatur proses, namun menyebabkan
pergeseran komposisi gas menuju produk pembakaran penuh (CO2), menurunkan
rasio energi hidrogen. Efek ini lebih terkendali pada sistem basah karena adanya
penguapan air yang menyerap sebagian panas reaksi.
Pada tahap WGS, peningkatan laju uap air memperbaiki konversi CO menjadi H2.
Sistem pengumpan basah lebih efisien karena uap air sudah tersedia dari slurry,
sementara sistem kering membutuhkan pasokan steam eksternal yang lebih besar.
Produksi H2 optimal tercapai pada rasio steam tertentu, di mana kelebihan uap tidak
lagi meningkatkan hasil akibat terbatasnya jumlah CO yang tersedia.
Konversi karbon pada sistem basah meningkat seiring bertambahnya laju batubara
karena uap air mempercepat reaksi gasifikasi dan WGS, sedangkan pada sistem
kering, konversi menurun setelah titik optimum akibat kekurangan oksigen.
Efektivitas produksi hidrogen menunjukkan tren naik-turun tergantung pada
ketersediaan steam dan kondisi reaksi, dengan pengumpan basah menunjukkan
efisiensi lebih baik secara keseluruhan.
Efisiensi energi hidrogen tertinggi tercapai pada sistem pengumpan basah,
menunjukkan peran penting uap dalam memfasilitasi reaksi-reaksi termodinamik.
Efisiensi menurun ketika laju oksigen meningkat akibat dominasi pembakaran
karbon menjadi CO2, namun sistem basah tetap unggul karena kontribusi energi
dari air dalam slurry.
Penelitian ini menunjukkan bahwa pemilihan sistem pengumpanan dan pengaturan
parameter operasi sangat menentukan efisiensi konversi energi batubara menjadi
hidrogen. Simulasi termodinamik melalui Aspen Plus terbukti efektif dalam
memetakan kondisi optimal proses dan memberikan arah strategis bagi
pengembangan teknologi gasifikasi batubara ke arah produksi hidrogen bersih.
Perpustakaan Digital ITB