digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

ABSTRAK Aniq Luthfi
PUBLIC Open In Flipbook Ridha Pratama Rusli

Dorongan global untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) telah mendorong eksplorasi bahan bakar alternatif dan sistem energi, terutama di sektor seperti maritim/perkapalan yang sangat bergantung pada bahan bakar fosil. Merespon hal tersebut International Maritime Organization (IMO) sebagai organisasi maritim internasional menetapkan penggunaan energi bebas GRK minimal 5%, dengan harapan dapat mencapai 10%, dari total energi yang digunakan oleh pelayaran internasional pada tahun 2030. Hidrogen dipilih sebagai salah satu pilihan bahan bakar yang bebas dari GRK, namun penggunaan hidrogen sebagai bahan bakar masih mempunyai kedala terutama dari sisi penyimpanan. Amoniak dipandang sebagai bentuk hidrogen carrier yang potensial karena mempunyai kandungan hidrogen yang cukup tinggi yakni 17,8% dari berat amoniak dan mempunyai kematangan teknologi dan fasilitas yang cukup banyak tersebar karena telah banyak digunakan dalam industri pembuatan pupuk, namun aplikasi amoniak masih mempunyai kendala yakni dekomposisi amoniak yang bersifat sangat endotermik sehingga membutuhkan kondisi operasi yang optimal dan memiliki rapat energi yang rendah dibandingkan dengan bahan bakar lain berbasis karbon sehingga membutuhkan tangki bahan bakar yang besar. Penelitian ini membahas pemanfaatan NH3 sebagai bahan bakar alternatif kapal tunda bertenaga 2 x 1200 HP atau 1,8 MW melalui dekomposisi menjadi H2. Simulasi pertama dilakukan dengan analisis kinetik reaktor dekomposisi amoniak menggunakan reaktor aliran sumbat (plug flow reactor) yang dimodelkan menggunakan dengan modul RPLUG pada pengakat lunak Aspen Plus V.14 dengan memvariasikan dimensi reaktor seperti panjang reaktor serta jumlah dan diameter tabung pada reaktor. Hasil simulasi menunjukkan dimensi reaktor optimum didapatkan pada dimensi rektor: panjang 0,5 m, diameter 0,1 m, dan jumlah tabung 30. Setelah dimensi reaktor didapatkan, hasil tersebut digunakan untuk menyusun dua konfigurasi sistem berbasis fuel cell yakni sistem alternatif pertama (berbahan bakar NH3 untuk energi dekomposisi NH3) dan sistem alternatif kedua (berbahan bakar minyak diesel yang dimodelkan dengan n-hexadecane sebagai energi dekomposisi NH3). Hasil simulasi menunjukkan bawa sistem alternatif pertama menghasilkan emisi GRK lebih rendah sebesar 309,24 kg/jam dibanding sistem alternatif kedua sebesar 456,81 kg/jam, hasil simulasi tersebut menunjukkan bahwa terjadi penurunan jumlah emisi yang cukup signifikan jika dibandingkan dengan emisi kapal eksisting dengan daya yang sama yakni sebesar 522,56 kg/jam. Pada alternatif sistem pertama kondisi tersebut dicapai ketika fraksi massa H2 pada burner: 0,0046 dan NH3: 0,0058, sedangkan sistem alternatif kedua mencapai kondisi tersebut ketika fraksi massa H2 pada burner: 0, NH3: 0,0028 dan minyak diesel: 0,014. Hal yang berbeda terjadi pada parameter efisiensi sistem, efisiensi maksimum sistem alternatif kedua: 40,62% sedikit lebih tinggi daripada alternatif pertama: 40,06% pada kondisi tanpa H2 di burner, dan keduanya menurun hingga 39,81% pada fraksi massa H2 sebesar 4,64 × 10?³. Simulasi ketiga dilakukan dengan analisis variasi daya (pada sistem alternatif pertama di mana mempunyai emisi GRK terendah) menunjukkan bahwa kebutuhan umpan NH3 meningkat hampir linear dengan beban, dari 22,94 kg/jam (50 kW) hingga 433,65 kg/jam (900 kW), sedangkan efisiensi mencapai puncak 43,94% pada daya 300 kW sebelum kembali menurun. Perhitungan kebutuhan bahan bakar pada rute dari Pelabuhan Muat Tarahan ke Pelabuhan Bongkar di PLTU Rembang (394 nm) menghasilkan konsumsi 220.448 kg NH3 atau 30.883 kg H2 per perjalanan, jauh lebih besar dibandingkan kapal eksisting berbahan bakar diesel: 50.635 kg. Kajian volume peralatan menunjukkan bahwa sistem berbasis NH3 memerlukan ruang lebih besar dibandingkan sistem eksisting, sementara penyimpanan H2 cair lebih efisien daripada NH3 tetapi tetap lebih besar daripada minyak diesel. Hasil ini menegaskan bahwa NH3 berpotensi lebih layak digunakan sebagai bahan bakar alternatif kapal dibanding H2 bertekanan tinggi, meskipun masih terdapat tantangan dari sisi kebutuhan ruang peralatan.