Indonesia dengan cadangan bijih nikel terbesar di dunia, sekitar 55 juta ton, memiliki
peran penting dalam rantai pasok nikel global. Untuk mendukung strategi hilirisasi
nasional, pemanfaatan bijih nikel secara efisien, khususnya melalui produksi feronikel,
menjadi krusial. Namun, penggunaan batubara sebagai reduktan konvensional berisiko
meningkatkan emisi karbon seiring meningkatnya permintaan feronikel sehingga menjadi
tantangan terhadap target Net Zero Emissions 2060. Di sisi lain, Indonesia juga
menghasilkan sekitar 12,8 juta ton limbah palm kernel shell (PKS) setiap tahun, yang
berpotensi dimanfaatkan sebagai reduktan biomassa rendah karbon. Namun, kandungan
fixed carbon PKS yang rendah menjadi penghalang terhadap penggunaannya pada proses
metalurgi. Penelitian ini dimulai dari torefaksi PKS pada 300°C selama 1 jam yang
meningkatkan kandungan fixed carbon dari 17,43% menjadi 40,16%. PKS tertorefaksi
kemudian digunakan sebagai reduktan untuk mereduksi bijih nikel saprolit dengan rasio
3:12 gram (reduktan:bijih) pada temperatur 500°C, 700°C, dan 900°C selama 60 120
menit. Padatan hasil reduksi kemudian dikarakterisasi melalui analisis XRD dan SEMEDS.
Keberadaan logam hasil reduksi ditemukan pada sampel hasil reduksi 120 menit
700°C dan 900°C dengan kandungan besi (Fe) 96,17% dan 95,67%. Sampel yang
direduksi selama 120 menit kemudian dilebur pada temperatur 1373°C, 1473°C, dan
1573°C. Padatan hasil peleburan kemudian dikarakterisasi melalui analisis SEM-EDS.
Kenaikan temperatur reduksi dan temperatur peleburan mengindikasikan peningkatan
jumlah pembentukan logam pada padatan hasil peleburan. Logam yang terbentuk melalui
proses peleburan pada 1573°C memiliki kadar Fe 79,30% dan nikel (Ni) 15,59% untuk
sampel reduksi 500°C, sementara itu pada temperatur reduksi 700°C diperoleh logam
dengan kadar 74,62% Fe dan 14,88% Ni dan pada temperatur reduksi 900°C diperoleh
logam dengan kadar 75,57% Fe dan 13,77% Ni.
Perpustakaan Digital ITB