digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Aksesibilitas pejalan kaki memiliki peran penting dalam mendukung penggunaan transportasi umum di kota besar seperti Jakarta. Berjalan kaki merupakan moda utama untuk menuju terminal transportasi seperti Moda Raya Terpadu. Oleh karena itu, dibutuhkan infrastruktur pejalan kaki yang aman, nyaman, dan informatif untuk mendorong masyarakat menggunakan transportasi umum dan mengurangi kemacetan. Upaya seseorang untuk berjalan kaki dapat dinilai melalui karakteristik rute seperti jarak, moda, waktu tempuh, dan rute yang digunakan. Penelitian ini bertujuan mengembangkan model aksesibilitas pejalan kaki dengan mengevaluasi rute akses menuju tiga stasiun di Jakarta, yaitu Stasiun Lebak Bulus, Stasiun Blok M, dan Stasiun Dukuh Atas. Metode yang digunakan adalah Walking Accessibility Model (WAM), Indeks Kelayakan Berjalan (IKB) dari Pedoman Bina Marga No. 05/P/BM/2023, dan pengembangan Walking Accessibility Model (WAM) menggunakan metode Equivalent Walking Distance (EWD). Walking accessibility menunjukkan seberapa mudah dan nyaman akses pejalan kaki ke stasiun menggunakan model discrete choice antara pejalan kaki (walking) dengan pengguna moda transportasi (non walking). Model ini digunakan untuk melihat preferensi pengguna dengan moda awal berjalan kaki berdasarkan pengaruh atribut seperti jenis kelamin (GEN), jenis pekerjaan (OCC), tujuan perjalanan (TP), faktor biaya akses (ACOST), waktu tempuh akses (ATIME), jarak akses (ADIST), dan persepsi penilaian fasilitas dan aksesibilitas menuju stasiun. Pengembangan WAM yaitu Equivalent Walking Distance (EWD) berguna untuk menyetarakan jarak fisik dengan usaha berjalan kaki yang dirasakan (effort) seperti hambatan fisik (Wibowo, 2005) berdasarkan jumlah titik penyebrangan (RCROSS), jumlah titik konflik (TCONF), dan jumlah anak tangga (FAC) serta persepsi penilaian fasilitas dan aksesibilitas yaitu fasilitas perlindungan (SHELT), kemanan (SAFE), dan wayfinding dan signage (WSIGN) menuju Stasiun yang ditinjau. Selain itu, IKB digunakan untuk menilai kelayakan rute berjalan kaki menuju Stasiun Moda Raya Terpadu berdasarkan persepsi. Hasil penelitian ini diperoleh dari hasil survei responden dengan rincian 57 responden di Stasiun Lebak Bulus, 74 responden di Stasiun Blok M, dan 90 responden di Stasiun Dukuh Atas. Hasil estimasi model menunjukkan nilai Rho-square sebesar 0,938 (93,8%) dengan variabel signifikan meliputi ADIST, ACOST, SHELT, TP, RCROSS, OCC, GEN, dan FAC. Analisis sensitivitas mengindikasikan bahwa probabilitas berjalan kaki tetap 100% ketika jarak berjalan kaki lebih pendek dari moda transportasi (ADIST_W < ADIST_NW), tetap tinggi pada jarak setara (ADIST_W = ADIST_NW), dan menurun signifikan ketika jarak berjalan kaki melebihi moda lain (ADIST_W > ADIST_NW), terutama jika perbedaan jarak mencapai ?ADIST (ADIST_W – ADIST_NW) ? 1,6 m. Penilaian IKB menunjukkan kategori rendah yaitu sangat tidak baik (46–55%) di Stasiun Lebak Bulus akibat kurangnya peneduh, signage, dan keamanan; kategori sedang yaitu cukup baik (57–69%) di Stasiun Blok M karena kualitas rute yang cukup baik dan infrastruktur merata; serta kategori tinggi yaitu sangat baik (72–82%) di Dukuh Atas berkat jalur rapi, peneduh, dan pencahayaan yang baik. Faktor yang meningkatkan effort fisik antara lain keberadaan titik penyeberangan (RCROSS), konflik lalu lintas (TCONF), dan jumlah anak tangga (FAC) sedangkan faktor yang menurunkan effort persepsi antara lain keberadaan peneduh (SHELT), rambu penunjuk arah (WSIGN), serta CCTV dan penerangan yang memadai (SAFE). Rasio EWD dan ADIST yang hampir sama dengan 1 menunjukkan kesetaraan antara jarak aktual dan beban yang dirasakan oleh pejalan kaki. Secara keseluruhan, Stasiun Dukuh Atas menunjukkan aksesibilitas pejalan kaki terbaik dengan rasio EWD/ADIST terendah (1,0005) yang mencerminkan kondisi fasilitas mendukung sehingga effort berjalan hampir setara dengan jarak fisik. Stasiun Blok M berada di peringkat kedua dengan rasio 1,0006, mengindikasikan kualitas rute yang cukup merata namun sedikit lebih tinggi dalam effort dibanding Dukuh Atas. Stasiun Lebak Bulus memiliki performa terendah dengan rasio 1,0008, menandakan adanya faktor lingkungan yang membuat jarak terasa sedikit lebih panjang dari fisiknya, kemungkinan karena keterbatasan peneduh, signage, dan keamanan. Berdasarkan nilai effort hambatan fisik, setiap tambahan 1 titik penyeberangan menambah effort setara 0,0634 m, 1 titik konflik menambah 0,0716 m, dan 1 tangga menambah 0,0175 m terhadap jarak setara. Sebaliknya untuk faktor persepsi seperti fasilitas pendukung mampu mengurangi effort berjalan, seperti peneduh yang mengurangi 0,1636 m, wayfinding dan signage mengurangi 0,0983 m, dan adanya lampu penerangan dan CCTV mengurangi 0,0274 m.