Aksesibilitas pejalan kaki memiliki peran penting dalam mendukung penggunaan
transportasi umum di kota besar seperti Jakarta. Berjalan kaki merupakan moda
utama untuk menuju terminal transportasi seperti Moda Raya Terpadu. Oleh karena
itu, dibutuhkan infrastruktur pejalan kaki yang aman, nyaman, dan informatif untuk
mendorong masyarakat menggunakan transportasi umum dan mengurangi
kemacetan. Upaya seseorang untuk berjalan kaki dapat dinilai melalui karakteristik
rute seperti jarak, moda, waktu tempuh, dan rute yang digunakan. Penelitian ini
bertujuan mengembangkan model aksesibilitas pejalan kaki dengan mengevaluasi
rute akses menuju tiga stasiun di Jakarta, yaitu Stasiun Lebak Bulus, Stasiun Blok
M, dan Stasiun Dukuh Atas. Metode yang digunakan adalah Walking Accessibility
Model (WAM), Indeks Kelayakan Berjalan (IKB) dari Pedoman Bina Marga No.
05/P/BM/2023, dan pengembangan Walking Accessibility Model (WAM)
menggunakan metode Equivalent Walking Distance (EWD). Walking accessibility
menunjukkan seberapa mudah dan nyaman akses pejalan kaki ke stasiun
menggunakan model discrete choice antara pejalan kaki (walking) dengan
pengguna moda transportasi (non walking). Model ini digunakan untuk melihat
preferensi pengguna dengan moda awal berjalan kaki berdasarkan pengaruh atribut
seperti jenis kelamin (GEN), jenis pekerjaan (OCC), tujuan perjalanan (TP), faktor
biaya akses (ACOST), waktu tempuh akses (ATIME), jarak akses (ADIST), dan
persepsi penilaian fasilitas dan aksesibilitas menuju stasiun. Pengembangan WAM
yaitu Equivalent Walking Distance (EWD) berguna untuk menyetarakan jarak fisik
dengan usaha berjalan kaki yang dirasakan (effort) seperti hambatan fisik (Wibowo,
2005) berdasarkan jumlah titik penyebrangan (RCROSS), jumlah titik konflik
(TCONF), dan jumlah anak tangga (FAC) serta persepsi penilaian fasilitas dan
aksesibilitas yaitu fasilitas perlindungan (SHELT), kemanan (SAFE), dan
wayfinding dan signage (WSIGN) menuju Stasiun yang ditinjau. Selain itu, IKB
digunakan untuk menilai kelayakan rute berjalan kaki menuju Stasiun Moda Raya
Terpadu berdasarkan persepsi. Hasil penelitian ini diperoleh dari hasil survei
responden dengan rincian 57 responden di Stasiun Lebak Bulus, 74 responden di
Stasiun Blok M, dan 90 responden di Stasiun Dukuh Atas. Hasil estimasi model
menunjukkan nilai Rho-square sebesar 0,938 (93,8%) dengan variabel signifikan
meliputi ADIST, ACOST, SHELT, TP, RCROSS, OCC, GEN, dan FAC. Analisis
sensitivitas mengindikasikan bahwa probabilitas berjalan kaki tetap 100% ketika
jarak berjalan kaki lebih pendek dari moda transportasi (ADIST_W <
ADIST_NW), tetap tinggi pada jarak setara (ADIST_W = ADIST_NW), dan
menurun signifikan ketika jarak berjalan kaki melebihi moda lain (ADIST_W >
ADIST_NW), terutama jika perbedaan jarak mencapai ?ADIST (ADIST_W –
ADIST_NW) ? 1,6 m. Penilaian IKB menunjukkan kategori rendah yaitu sangat
tidak baik (46–55%) di Stasiun Lebak Bulus akibat kurangnya peneduh, signage,
dan keamanan; kategori sedang yaitu cukup baik (57–69%) di Stasiun Blok M
karena kualitas rute yang cukup baik dan infrastruktur merata; serta kategori tinggi
yaitu sangat baik (72–82%) di Dukuh Atas berkat jalur rapi, peneduh, dan
pencahayaan yang baik. Faktor yang meningkatkan effort fisik antara lain
keberadaan titik penyeberangan (RCROSS), konflik lalu lintas (TCONF), dan
jumlah anak tangga (FAC) sedangkan faktor yang menurunkan effort persepsi
antara lain keberadaan peneduh (SHELT), rambu penunjuk arah (WSIGN), serta
CCTV dan penerangan yang memadai (SAFE). Rasio EWD dan ADIST yang
hampir sama dengan 1 menunjukkan kesetaraan antara jarak aktual dan beban yang
dirasakan oleh pejalan kaki. Secara keseluruhan, Stasiun Dukuh Atas menunjukkan
aksesibilitas pejalan kaki terbaik dengan rasio EWD/ADIST terendah (1,0005)
yang mencerminkan kondisi fasilitas mendukung sehingga effort berjalan hampir
setara dengan jarak fisik. Stasiun Blok M berada di peringkat kedua dengan rasio
1,0006, mengindikasikan kualitas rute yang cukup merata namun sedikit lebih
tinggi dalam effort dibanding Dukuh Atas. Stasiun Lebak Bulus memiliki performa
terendah dengan rasio 1,0008, menandakan adanya faktor lingkungan yang
membuat jarak terasa sedikit lebih panjang dari fisiknya, kemungkinan karena
keterbatasan peneduh, signage, dan keamanan. Berdasarkan nilai effort hambatan
fisik, setiap tambahan 1 titik penyeberangan menambah effort setara 0,0634 m, 1
titik konflik menambah 0,0716 m, dan 1 tangga menambah 0,0175 m terhadap jarak
setara. Sebaliknya untuk faktor persepsi seperti fasilitas pendukung mampu
mengurangi effort berjalan, seperti peneduh yang mengurangi 0,1636 m,
wayfinding dan signage mengurangi 0,0983 m, dan adanya lampu penerangan dan
CCTV mengurangi 0,0274 m.
Perpustakaan Digital ITB