digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Hutan merupakan penyimpan biomassa terbesar di ekosistem daratan yang mampu menyerap dua pertiga emisi karbon setiap tahunnya. Asia Tenggara memiliki 15% hutan hujan tropis dunia yang dapat menyimpan biomassa serta stok karbon, sehingga berpotensi mendukung mitigasi perubahan iklim global. Namun, kawasan ini menghadapi ancaman serius terhadap eksistensi hutan, dikarenakan tingginya tingkat deforestasi, ekspansi lahan pertanian, dan kelapa sawit. Tantangan lain muncul terkait pengukuran biomassa hutan pada temporal dan skala spasial yang luas, sementara pengukuran secara langsung membutuhkan waktu yang lama, tenaga besar, akses yang terbatas ke wilayah terpencil, dan biaya yang mahal. Selain itu, informasi terkait biomassa karbon hutan masih terbatas dan bersifat statis, yaitu tersedia untuk tahun dan wilayah tertentu saja, sehingga belum memadai untuk menggambarkan dinamika perubahan biomassa karbon secara temporal yang diperlukan untuk perencanaan konservasi dan mitigasi. Penelitian ini mengatasi keterbatasan tersebut dengan tujuan utama mengembangkan model biomassa karbon dinamis pada tahun 2000 hingga 2020 di Asia Tenggara dengan memanfaatkan data pengindraan jauh dan teknik Machine Learning (ML) serta mengestimasi potensi nilai ekonomi karbon berdasarkan model biomassa karbon dinamis tersebut. Tujuan pendukung penelitian ini, yaitu memetakan distribusi spasio-temporal tutupan hutan di Asia Tenggara. Metodologi penelitian ini mengintegrasikan berbagai dataset dan parameter pengindraan jauh—meliputi parameter indeks vegetasi, produktivitas vegetasi, biofisik, parameter iklim, dan topografi—dengan algoritma ML Random Forest (RF) untuk membuat model biomassa karbon, mencakup Aboveground (AGBC) dan Belowground (BGBC) Biomass Carbon yang bersifat dinamis dan lebih akurat. Kebaruan penelitian ini menekankan pada integrasi spasio-temporal antara area tutupan hutan dan biomassa karbon dinamis, serta pendekatan valuasi nilai ekonomi berbasis model biomassa karbon di skala regional Asia Tenggara. Analisis hasil penelitian ini menunjukkan terjadi penurunan luas hutan sebesar ~1,29 juta km2 (59,35%) selama dua dekade ini yang diakibatkan oleh aktivitas deforestasi, ekspansi lahan pertanian, dan kelapa sawit. Temuan utama pada penelitian ini menunjukkan penurunan AGBC dan BGBC berturut-turut sebesar, 26.177,36 ± 5,93 Mega Ton Carbon (MtC) tahun 2000 menjadi 15.957,03 ± 4,09 MtC tahun 2020 dan sebesar 6.609,37 ± 1,65 MtC tahun 2000 menjadi 3.956,9 ± 1,07 MtC tahun 2020. Secara spasial, penurunan biomassa karbon dominan terjadi di wilayah Indonesia dan Malaysia di mana wilayah-wilayah ini memiliki tingkat deforestasi dan ekspansi lahan sawit yang sangat tinggi. Selain itu, di beberapa wilayah ekspansi lahan pertanian juga telah berkontribusi signifikan terhadap konversi tutupan hutan, seperti di Thailand dan Myanmar. Kemudian, Penelitian ini juga memvaluasi potensi ekonomi yang dapat dihasilkan oleh biomassa karbon hutan. Valuasi ekonomi potensial dilakukan dengan mengonversi biomassa karbon menjadi total emisi ekuivalen karbon dioksida (CO?e). Potensi nilai ekonomi karbon diestimasi berdasarkan dua skenario harga, yaitu harga rata-rata di kawasan ASEAN plus China, Jepang, dan Korea Selatan (ASEAN+3) dan harga rekomendasi global. Estimasi menunjukkan terjadi penurunan potensi ekonomi karbon hutan antara tahun 2000 dan 2020, yaitu sebesar USD 776 miliar menjadi USD 471 miliar untuk skenario harga ASEAN+3, sedangkan untuk skenario harga rekomendasi global terjadi penurunan dari USD 9,02 triliun menjadi USD 5,48 triliun. Penelitian ini telah berhasil menganalisis penurunan tutupan hutan, mengembangkan model biomassa karbon dinamis, dan memvaluasi potensi ekonomi ekonomi karbon di Asia Tenggara selama 2000 sampai 2020. Berdasarkan hasil dan analisis, penelitian ini menegaskan bahwa penurunan hutan yang terjadi selama dua dekade terakhir berdampak signifikan terhadap berkurangnya biomassa karbon hutan dan potensi ekonomi yang dapat dihasilkan—dengan kerugian mencapai USD 305 miliar hingga USD 3,54 triliun. Temuan ini menyoroti tingginya urgensi dalam upaya konservasi, pengelolaan hutan berkelanjutan, serta pengembangan kebijakan ekonomi berbasis hutan guna mendukung mitigasi perubahan iklim dan optimalisasi perdagangan karbon berbasis hutan di Asia Tenggara.