digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Kecamatan Lubuk Begalung di Kota Padang, Sumatera Barat, merupakan wilayah dengan risiko banjir tinggi yang diakibatkan oleh luapan Sungai Batang Arau, hal ini juga diperparah oleh perubahan penggunaan lahan, pertumbuhan penduduk, dan perubahan iklim. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji tingkat risiko banjir di wilayah tersebut sebagai dasar perencanaan mitigasi dan pengurangan risiko bencana yang lebih efektif. Metode yang digunakan meliputi pendekatan spasial dengan Sistem Informasi Geografis (SIG) dan pemodelan sebaran banjir menggunakan software HEC-RAS 2D. Data yang dianalisis mencakup curah hujan maksimum, DEM, penggunaan lahan, jaringan sungai, data sosial ekonomi, serta informasi hidrologi dan hidraulika. Pemodelan HEC-RAS 2D mensimulasikan sebaran genangan akibat debit banjir kala ulang 25 tahun. Penilaian risiko dalam studi ini mengintegrasikan tiga komponen utama: bahaya banjir (hazard), kerentanan (vulnerability), dan kapasitas (capacity). Analisis spasial dilakukan dengan menerapkan metode pembobotan dan overlay untuk menghasilkan peta zonasi risiko banjir pada 5 kelurahan di kecamatan lubuk begalung yang beredoman pada Pedoman Umum Kajian Tingkat Risiko Bencana BNPB tahun 2012. Hasil simulasi menunjukkan bahwa beberapa kelurahan di dataran rendah dekat sungai utama batang arau tergenang hingga lebih dari 1 meter pada debit ulang 25 tahun. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa wilayah dengan risiko tinggi terkonsentrasi di hilir DAS, terutama di area permukiman padat dengan kapasitas respon rendah. Berdasarkan hasil kajian, terdapat dua pendekatan utama yang diusulkan sebagai strategi pengendalian risiko banjir di wilayah studi, yaitu: (1) normalisasi sungai sebagai upaya teknis untuk meningkatkan kapasitas aliran dan mengurangi luapan air ke wilayah permukiman, serta (2) upaya non struktural yaitu dengan penerapan sistem peringatan dini banjir (Early Warning System/EWS) sebagai langkah mitigati. Normalisasi sungai dapat mencakup pengerukan sedimen, pelebaran sungai, dan penguatan tebing, yang ditujukan untuk meminimalkan potensi limpasan saat debit tinggi. Sementara itu, EWS berbasis sensor dan pemantauan debit/curah hujan dapat meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat dan mempercepat proses evakuasi saat kondisi darurat terjadi.