Pulau Papua dan Maluku memiliki kualitas udara yang sangat baik dibandingkan wilayah lain di
Indonesia seiring dengan aktivitas pembangunan yang masih terbatas (Direktorat PPU, 2023).
Namun, emisi udara tetap ada dan berpotensi semakin meningkat akibat berkembangnya sektor
transportasi dan industri, disertai dengan ancaman kebakaran hutan dan lahan yang terjadi hampir
setiap tahun, serta penggunaan bahan bakar tradisional yang masih mendominasi di sektor rumah
tangga. Namun, kajian terkait emisi udara di wilayah ini masih terbatas sehingga penelitian ini
bertujuan untuk menganalisis kontribusi dan sebaran emisi SO?, NO?, PM?.?, dan PM?? dari empat
sumber utama: industri, transportasi, residensial, dan kebakaran hutan dan lahan. Perhitungan
dilakukan dengan pendekatan top-down tier 1 mengacu pada EMEP/EEA air pollutant emission
inventory guidebook 2023 untuk sektor transportasi, residensial, dan industri, serta mengacu pada
Guidelines for Developing Emission Inventory in East Asia (2011) untuk kebakaran hutan dan lahan.
Beban emisi terhitung kemudian didistribusikan dalam grid 9×9 km menggunakan ArcGIS serta
digunakan model HYSPLIT untuk menganalisis trajektori polutannya. Hasil menunjukkan sektor
industri merupakan sumber emisi NOx dan SO? utama menyumbang masing-masing sebesar 38,8%
NOx
(7.978,7 ton/tahun) dan 81% SO? (27.008,53 ton/tahun) utamanya dari kawasan industri nikel
di Maluku Utara (Halmahera Selatan dan Halmahera Tengah). Sementara itu, sektor transportasi
juga menyumbang emisi yang signifikan setelah industri yakni sebesar 35% (7.203,8 ton/tahun)
utamanya dari aktivitas sepeda motor dan truk yang cukup tinggi terutama di wilayah ibu kota.
Selain itu, kebakaran hutan dan lahan menjadi sumber utama emisi PM?.? dan PM?? masing-masing
sebesar 88,7% (116.993,7 ton/tahun) dan 89,2% (127.197,5 ton/tahun), terutama dari wilayah rawan
terbakar seperti Papua Selatan (Kabupaten Merauke) dan Maluku (Kabupaten Buru). Sektor
residensial juga berkontribusi sebagai penyumbang terbesar kedua PM?.? dan PM?? masing-masing
sebesar 9% (11.867,1 ton/tahun) dan 8,5% (12.187,4 ton/tahun), dominan di Papua Pegunungan
(Yahukimo dan Tolikara) dan Papua Tengah (Paniai). Selain itu, dari hasil trajektori diketahui
bahwa ibu kota provinsi yang sebagian besar merupakan wilayah dengan emisi lokal yang tinggi
juga dapat menerima pencemar udara dari sumber emisi di wilayah lain. Hasil ini diharapkan dapat
menjadi dasar untuk awal dari evaluasi dampak dan penyusunan kebijakan terkait pengelolaan
kuliatas udara yang lebih efektif di Pulau Papua dan Maluku.
Perpustakaan Digital ITB