digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

ABSTRAK_Eryonata Melino
PUBLIC Open In Flipbook Perpustakaan Prodi Arsitektur

Sektor konstruksi merupakan salah satu kontributor utama emisi karbon di Indonesia, seiring dengan meningkatnya permintaan masyarakat terhadap hunian rumah tapak. Pembangunan rumah secara konvensional umumnya menghasilkan konsumsi energi dan material yang tinggi, terutama akibat dominasi penggunaan beton dan batu bata, serta rendahnya efisiensi desain dalam proses konstruksi dan operasional bangunan. Dalam konteks ini, rumah prafabrikasi berbasis kayu muncul sebagai alternatif strategis yang menawarkan kecepatan pembangunan, efisiensi penggunaan sumber daya, serta potensi signifikan dalam menurunkan embodied energy dan emisi karbon pada bangunan. Penelitian ini dilakukan untuk menjawab kebutuhan akan pengembangan hunian rendah karbon melalui pendekatan arsitektur dan konstruksi yang berkelanjutan. Tujuan utama dari penelitian ini adalah mengevaluasi potensi pemanfaatan kayu dalam pengembangan rumah prafabrikasi rendah karbon di Indonesia, melalui lima fokus kajian utama: (1) menganalisis karakteristik rumah tapak di Indonesia dan Jepang sebagai perbandingan kontekstual dan teknologi; (2) mengidentifikasi preferensi masyarakat terhadap ruang dan fitur hunian; (3) mengevaluasi tingkat willingness to adopt dan willingness to pay terhadap rumah prafabrikasi kayu; (4) merumuskan desain usulan berdasarkan preferensi masyarakat dan data spasial; serta (5) membandingkan nilai embodied energy dan embodied carbon antara sistem konstruksi prafabrikasi dan sistem konvensional. Metode yang digunakan dalam penelitian ini merupakan pendekatan campuran antara metode kuantitatif dan kualitatif. Data primer diperoleh dari hasil pengukuran dan observasi lapangan terhadap rumah Jepang di kawasan Jatinangor serta survei daring terhadap 147 responden yang berasal dari berbagai latar belakang usia, pendidikan, dan domisili. Sementara itu, data sekunder mencakup 116 denah rumah katalog (65 dari Indonesia dan 51 dari Jepang) serta satu denah rumah Jepang hasil studi lapangan. Teknik analisis yang digunakan meliputi zonasi spasial, space syntax, analisis komparatif, korespondensi, serta analisis korelasi antara atribut demografi dengan persepsi, preferensi ruang, dan nilai willingness to pay. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rumah tapak di Indonesia cenderung memiliki variasi layout yang tinggi dan didominasi oleh struktur konvensional berbahan beton dan bata merah. Sebaliknya, rumah Jepang menampilkan konsistensi dalam pendekatan modular, pemisahan fungsi toilet dan kamar mandi, serta penggunaan struktur kayu precut dan dinding glass reinforced concrete (GRC) dengan insulasi glasswool. Pada elemen selubung bangunan, rumah Jepang banyak memanfaatkan cladding, balkon, dan fitur shading pasif, sementara rumah Indonesia umumnya mengandalkan overstek dan lapisan cat eksterior. Survei menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia sangat memperhatikan keberadaan empat ruang utama dalam rumah, yaitu kamar tidur, ruang keluarga, dapur, dan ruang makan. Sebagian besar responden menunjukkan preferensi terhadap tata letak open-plan dan menempatkan ruang-ruang sosial di lantai dasar. Ketertarikan terhadap rumah prafabrikasi kayu cukup tinggi, terutama pada kelompok usia 30–40 tahun, yang juga menunjukkan kecenderungan kesiapan membayar lebih (willingness to pay) untuk tipe rumah tersebut. Rata-rata nilai willingness to pay mencapai 5,4% lebih tinggi dibanding rumah konvensional, meskipun dipengaruhi oleh persepsi terhadap harga, nilai estetika, dan efisiensi bangunan. Berdasarkan integrasi data spasial dan preferensi masyarakat, dirumuskan lima tipologi desain rumah prafabrikasi kayu, terdiri atas satu unit satu lantai dan empat unit dua lantai, dengan luas bangunan berkisar antara 52,05 m² hingga 112,2 m². Desain dirancang dengan memperhatikan efisiensi sirkulasi, pencahayaan alami maksimal, ventilasi silang yang optimal, serta penggunaan elemen shading yang sesuai dengan iklim tropis lembap. Setiap unit juga dirancang dengan pendekatan modular untuk mendukung fleksibilitas produksi dan efisiensi waktu konstruksi. Evaluasi terhadap embodied energy dan embodied carbon menunjukkan bahwa sistem prafabrikasi kayu secara konsisten memberikan efisiensi energi dan emisi yang lebih baik dibandingkan sistem konvensional. Nilai efisiensi berkisar antara 30% hingga 60%, dengan performa terbaik ditemukan pada unit dengan luasan besar. Dalam sistem konvensional, beton dan bata merah merupakan penyumbang utama emisi karbon, sedangkan dalam sistem prafabrikasi, emisi terbesar berasal dari komponen GRC dan insulasi, namun tetap berada pada level yang lebih rendah secara keseluruhan. Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan bahwa rumah prafabrikasi berbahan dasar kayu memiliki potensi besar untuk dikembangkan sebagai solusi hunian rendah karbon yang kontekstual dan efisien di Indonesia. Untuk mewujudkan hal tersebut, diperlukan dukungan berupa regulasi teknis yang jelas, insentif terhadap material berkelanjutan, serta edukasi kepada masyarakat mengenai manfaat ekonomi dan lingkungan dari sistem prafabrikasi. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap perumusan strategi nasional dalam pengembangan perumahan berkelanjutan dan menjadi bagian dari upaya menurunkan emisi sektor bangunan sebagai bagian dari komitmen Indonesia terhadap target dekarbonisasi global.